Berbekal kemampuan menari dan bernyanyi, tugas Ardhana Reswari Dyah Putri sebagai pengajar Bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) berjalan lancar. Setelah bertugas di Timor Leste, dia dipercaya pemerintah untuk terbang ke Austria. Saat itu, dia tak perlu lagi mengikuti tes.
FAJAR ANDRE SETIAWAN
Meski kini berstatus sebagai pengajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), jiwa seni masih tetap melekat pada sosok Ardhana Reswari Dyah Putri. Dia bisa menari, dan juga handal dalam bidang tarik suara. Bakat-bakat itu menurun dari sosok ayahnya, yang merupakan warga asli Jogjakarta. Ayah perempuan yang akrab disapa Ardhana itu memang punya perhatian tinggi pada kelestarian seni dan budaya Indonesia.
Itulah yang mendorong Ayah Ardhana untuk memasukkannya ke sanggar tari dekat tempat tinggalnya di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Ardhana sudah berlajar menari di sana sejak dia berusia tujuh tahun. ”Bapak saya seorang MC Jawa di Malang Raya,” kata dia. Seperti kebanyakan anak lainnya, saat itu Ardhana kecil tidak tahu apa tujuan sebenarnya dalam belajar menari.
Sebab, meski aktif menari sejak belia, dia tak pernah sekadar tampil atau mengikuti kompetisi-kompetisi menari. Baru lah saat Ardhana berusia 16 tahun dia memulai kiprahnya di atas panggung sebagai penari latar dalam acara campursari. Namun, kesempatan perdana itu tak main-main. Sebab, penampilannya itu turut disiarkan dalam sebuah program di TVRI Jawa Timur. ”Kalau dulu kan masih jamannya VCD, sampai sekarang saya masih menyimpan rekamannya,” imbuh perempuan berusia 33 tahun itu.
Perempuan kelahiran 16 Maret 1989 itu memang terlihat jenaka dari cara bicaranya. Itu tampak dari ekspresi bicaranya saat ngobrol dengan Jawa Pos Radar Malang melalui aplikasi Zoom, 17 Juli lalu.
Banyak jokes-jokes yang dilontarakan Ardhana dalam setiap kali percakapan. Dia mengaku bila hal serupa juga selalu dia lakukan saat menjadi pengajar BIPA. ”Harus menjadi pribadi yang ramah dan menyenangkan,” kata dia.
Perempuan yang kini tinggal di St. Gallen, Swiss itu menyebut bila kunci pengajaran Bahasa Indonesia adalah membuat senang pesertanya. Oleh karena itu, di setiap sesi belajar dia juga mengenalkan budaya Indonesia. Cara itu, disebut Ardhana, mampu membuat peserta didik makin penasaran.
Ardhana aktif menjadi pengajar BIPA sejak dirinya duduk di bangku kuliah, 2007 silam. Anak pertama dari dua bersaudara itu memang masuk dalam program studi (prodi) S1 Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia dengan minor BIPA. Dia aktif sebagai pengajar di berbagai program seperti Critical Language Scholarship (CLS). Kemitraan Negara Berkembang (KNB), dan Darmasiswa.
Namun, Ardhana mengaku selalu menjadi langganan tiap tahunnya untuk menjadi pengajar CLS (mengajar mahasiswa Amerika di Universitas Negeri Malang). ”Saat saya lulus, saya langsung melanjutkan S2 di Universitas Gajah Mada. Saya Ambil jurusan linguistik. Saat libur semester saya manfaatkan untuk tetap mengajar di UM,” terangnya.
Usai lulus S2 dari UGM dirinya tetap aktif sebagai pengajar BIPA. Dan di tahun 2016, dia mulai mencoba tantangan baru untuk menjadi pengajar di Bahasa Indonesia di luar negeri. Serangkaian tes dia jalani. Dengan pengalaman mengajar BIPA bertahun-tahun di Indonesia, akhirnya seleksi itu bisa dilaluinya dengan cukup mudah. Kemampuannya dalam membawakan tari-tarian nusantara menjadi nilai lebih.
Meski begitu, Ardhana tak berangkat di tahun itu juga. Dia baru bertugas di negara pertama, yakni Timor Leste pada tahun 2018. Saat itu dia bertugas di Pusat Budaya Indonesia, Kota Dili-Timor Leste. Ardhana tak menyangka kemampuannya bernyanyi dangdut membawa animo tersendiri pada kalangan mahasiswa di sana. Sebab, dirinya menyebut saat itu orang-orang Timor Leste sedang demam dengan program televisi Indonesia, yakni Liga Dangdut Indonesia. ”Jadi saat saya memilih memasukkan menyanyi dangdut sebagai muatan budaya Indonesia, mereka sangat senang dan tertarik,” ujarnya.
Ardhana mengatakan dirinya tidak mengenalkan dangdut secara umum saja. Namun, dia juga menceritakan sejarah dangdut di Indonesia. Mulai awal hingga perkembangannya sampai saat ini. ”Jadi saya belajar sejarahnya juga untuk memberikan informasi secara lengkap kepada pelajar,” imbuhnya. Ardhana mengatakan bila orang-orang di sana sedikitnya sudah mengerti Bahasa Indonesia. Pasalnya, kebanyakan siaran televisi di sana merupakan program-program dari Indonesia. ”Tapi mengertinya kan tentu saja bahasa informalnya ya, karena mengerti dari program televisi,” kata dia.
Beranjak dari sana, dia mengaku dalam tugas itu lebih banyak membawakan misi dalam promosi kebudayaan. Di Timor Leste dia juga membuka kelas budaya tari. Sejumlah tari-tarian tradisional dari Indonesia turut dia ajarkan. Termasuk tari topeng Malangan. Sementara di setiap even-even penting yang diadakan KBRI di Timor Leste, Ardhana tak pernah absen untuk tampil. Tak hanya tari, dia juga pernah mendapat kesempatan untuk memeragakan busana adat Bali dalam sebuah acara fashion show.
Performa Ardhana dalam mengajar di Timor Leste mendapat banyak pengakuan dari banyak pihak. Itu lah mengapa pada tahun 2020 dia kembali diminta pemerintah RI untuk mengajar di Wina, Austria. Saat itu, dia tak perlu lagi melakoni tes dan seleksi. Namun, sayangnya kesempatan mengajar secara tatap muka di Universitas Wina tak berjalan lama. Sebab, usai beberapa kali pertemuan, pandemi juga terjadi di sana. ”Kalau di Indonesia kan awal Maret ya (mulai menyebarnya), kalau di sana saat itu baru tutup (kampus) di akhir Maret,” kata dia.
Namun, dari kejadian pandemi itu lah nama Ardhana semakin harum sebagai pengajar BIPA. Pasalnya, saat diumumkan bahwa semua kegiatan harus dialihkan secara daring, dia langsung mencari cara untuk tetap bisa melakukan pembelajaran. ”Akhirnya saya minta mahasiswa saya untuk mengikuti kelas dengan menggunakan aplikasi skype,” imbuhnya. Berbagai rintangan harus dihadapinya. Yang paling sering ditemui yakni kendala koneksi dan jaringan. ”Soalnya di sana (Austria) untuk internetnya kan sudah bagus ya,” tuturnya.
Yang jadi masalah selanjutnya yakni alih literasi media pembelajaran. Sebab, sebelumnya Ardhana hanya membutuhkan tenaga untuk menyiapkan modul secara fisik. Lalu mengajarkan dalam sebuah praktik peran dan permainan. Namun, lagi-lagi Ardhana bisa melakukannya dengan cepat. Berbekal kemampuannya, dia membuat berbagai video pembelajaran. Dalam video itu, dia tak lupa memasukkan muatan budaya tari-tarian nusantara dan menyanyi dangdut.
Ardhana menambahkan, tidak banyak program pengajaran BIPA yang bisa berlanjut saat awal-awal pandemi. Sebab, selain terkendala koneksi internet, pengajar juga kebanyakan belum bisa adaptasi dengan cepat. Namun, keberhasilan Ardhana dalam mengubah metode pembelajaran tak berhenti saat program belajar saja. Namun, dari pengalamannya itu dia akhirnya mengikuti sebuah kompetisi Vlog dengan tema Saling Terkoneksi Lewat Kecanggihan Teknologi, yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), bekerja sama dengan Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Kerja Indonesia Maju (OASEKIM). Dari even itu Ardhana berhasil menyabet juara satu. ”Saya angkat vlog berjudul ’diplomasi Bahasa Indonesia tetap terkoneksi dengan kecanggihan teknologi’.” tutupnya. (*/by)