Pramita Respati
Dosen UMM
MENJADI pengajar bagi orang asing tentu merupakan pengalaman berharga. Apalagi bisa mengajar di mancanegara. Namun, sejak pandemi Covid-19 melanda dunia hingga saat ini, para pengajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) tak lagi seperti dulu. Sebagian besar terpaksa melakukannya secara daring.
Hal itulah yang dialami oleh Pramita Respati. Perempuan kelahiran 1994 itu harus bersabar untuk menikmati pengalaman pertamanya mengajar BIPA di luar negeri. Sebab, kesempatan itu datang bertepatan dengan terjadinya pandemi Covid-19.
Perempuan yang sudah aktif mengajar BIPA sejak 2016 itu sebelumnya hanya menjadi pengajar BIPA di Indonesia saja. Dia banyak terlibat di beberapa program, seperti Kemitraan Negara Berkembang (KNB) dan Darmasiswa.
Menurutnya, mengajar Bahasa Indonesia untuk orang asing tentu memberikan tantangan tersendiri. Ditambah saat ini harus melakukannya secara daring, sudah pasti membuat tantangan itu semakin besar.
Saat ini, perempuan yang akrab disapa Mita itu mengajar tiga lembaga di Filipina. Yakni di University of Perpetual Help System Dalta, Ateneo de Manila University, dan Commando Security Agency KJRI Davao City. Yang jadi pemelajar atau ”murid-muridnya” beragam. Mulai dari mahasiswa, siswa SMA, dan petugas keamanan. Tentu masingmasingnya membutuhkan strategi pengajaran yang berbeda-beda.
”Karena yang belajar itu berbeda-beda, maka saya harus menyampaikan materi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Jadi sedikit ekstra dalam persiapan materi dan media pembelajarannya,” ujarnya.
Ketika pembelajaran iru dilakukan secara daring, Mita merasa seperti mendapat tugas tambahan. Yakni membuat media pembelajaran yang interkatif dan menarik. Meski begitu, Mita tergolong pengajar BIPA yang unik. Sebab, kebanyakan pengajar BIPA mempunyai latar belakang pendidikan bahasa.
Namun di merupakan lulusan S1 dan S2 dari jurusan Pendidikan Matematika.”Tapi pengalaman mengajar BIPA di Indonesia cukup sebagai bekal untuk mengajar BIPA di luar negeri,” ungkapnya. (dre/fat)