BULAN lalu kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ke-64 tahun. Setiap 2 Mei hari itu dirayakan secara seremonial. Namun, sekarang coba kita rayakan hari itu secara refleksional. Meski momennya telah lewat bahkan sebulan lebih. Sebab, merefleksi penyelenggaraan pendidikan selama 64 tahun tidak cukup hanya sehari atau dua hari saja. Zaman berubah. Orientasi pendidikan mengikuti perubahan itu.
Tak ada waktu yang cukup untuk terus berbenah. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang baik adalah kesiapan untuk terus belajar. Membaca perubahan lebih cepat, mengikuti perkembangan, dan mau terus beradaptasi. Maka sudah seharusnya Hardiknas menjadi ajang refleksi. Tidak hanya selebrasi semata. Lagi pula capaian apa yang perlu dirayakan? Jika membuka mata lebih lebar, kepincangan layanan pendidikan masih di sana sini.
Hardiknas diambil dari hari lahirnya salah seorang pahlawan nasional Ki Hadjar Dewantara. Ya, peringatan Hardiknas memang sengaja dipilih sesuai tanggal lahirnya untuk menghormati perjuangan Bapak Pendidikan Nasional itu. Pasalnya ia pernah memiliki suara penolakan paling lantang terhadap kebijakan kolonial Belanda atas penyelenggaraan pendidikan yang diskriminatif saat itu.
Pasalnya, pemerintah kolonial Belanda saat itu hanya memberikan akses pendidikan kepada keturunan Belanda dan pribumi yang berasal dari kelas ekonomi atas. Perjuangan kesetaraan hak pendidikan yang terus ia gaungkan membuat Ki Hadjar Dewantara sempat diasingkan ke negeri Belanda. Namun, setelah ia kembali ke tanah air, semangat itu tak pudar. Ia malah mendirikan Lembaga Pendidikan Taman Siswa bagi pribumi.
Ki Hadjar Dewantara terus memperjuangkan akses pendidikan yang tak diskriminatif. Pendidikan yang bisa diakses siapa saja. Termasuk bisa diselenggarakan oleh siapa saja. Baik dari pemerintah maupun swasta. Kabar baiknya adalah negara tetap hadir pada layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh swasta. Namun, ibarat tak ada gading yang tak retak. Pemerintah perlu mengkaji ulang ketepatan kehadiran negara dalam hal ini.
Di waktu yang sama pihak swasta sebagai penyelenggara pendidikan juga harus bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan lembaga pendidikannya. Terutama dalam memberikan kewajiban kegiatan belajar dan mengajar. Berkaca dari potret penyelenggaraan pendidikan di Kota Malang. Ada ratusan sekolah mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga Perguruan Tinggi (PT) baik negeri maupun swasta.
Spesifik membahas SD dan SMP baik negeri maupun swasta. Pemerataan kualitas pendidikan di sekolah negeri terus dilakukan. Mulai dari menerapkan sistem zonasi yang berlaku secara nasional dan penetapan gaji guru yang kompetitif. Ya, gaji guru honorer atau Guru Tidak Tetap (GTT) di Kota Malang relatif layak jika dibandingkan dengan daerah lain. Meski nominalnya masih jauh di bawah UMR (Upah Minimum Regional) Kota Malang.
Gaji guru honorer berada di angka mulai Rp 2 juta. Nominalnya bisa variatif bergantung masa kerja. Sedangkan, UMR Kota Malang tahun ini nyaris Rp 3,2 juta. Sayangnya gaji itu hanya berlaku untuk guru honorer di sekolah negeri saja. Hingga saat ini tak ada standar khusus untuk gaji guru honorer maupun guru tetap di sekolah swasta. Semua bergantung kemampuan sekolah atau yayasan dalam menggaji gurunya.
Bagi sekolah swasta yang bonafide sangat mungkin menggaji guru bahkan di atas UMR Kota Malang. Namun, bagi sekolah swasta kecil? Jangankan setara guru honorer sekolah negeri. Gaji di atas Rp 1 juta saja jarang. Apalagi ada kesenjangan kualitas dan kepercayaan masyarakat antar sekolah swasta satu dengan sekolah swasta lainnya. Hal itu membuat mayoritas sekolah swasta sulit berkembang.
Di samping itu, permasalahan klasik kekurangan murid masih terus langgeng. Alasannya tak jauh-jauh dari kualitas sekolah dan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut. Berdasar data yang diberikan Ketua MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) SMP Swasta Kota Malang Rudiyanti, hanya 6 dari 83 sekolah yang mampu memenuhi pagu setiap tahunnya. Sedangkan 77 sekolah menyisakan kekurangan pagu yang variatif.
Mirisnya, separo sekolah mempunyai kekurangan pagu di atas 60 persen. “Yang bisa terpenuhi pagunya ya hanya sekolah-sekolah bonafide saja,” ucapnya. Hal yang sama juga dialami oleh SD Swasta. Koordinator SD Swasta Kota Malang Agus Suharjanta menyebut dari 88 SD Swasta di Kota Malang, hanya 20 persen saja yang mampu memenuhi jumlah pagu yang dibuka. Sisanya, membuat ingin mengelus dada.
Masalah itu tak lepas dari orang-orang yang berperan di dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut. Kebanyakan guru swasta tak bisa fokus mengajar di satu sekolah saja. Mengingat gaji yang didapatkan kerap tak representatif. Akhirnya banyak guru yang mendua. Alias mengajar di lebih dari satu sekolah. Bahkan nyambi sopir angkot atau pun tukang ojek. Padahal, mengembangkan sebuah lembaga perlu komitmen kuat dan fokus.
Selama ini kita lebih sering menyoroti kualitas siswa. Logika yang semakin jongkok, daya nalar kritis yang amburadul, dan lain sebagainya. Namun, bukankah kerap kali gajah di pelupuk mata tidak tampak namun semut di seberang lautan begitu tampak jelas? Bagaimana dengan kualitas guru kita yang harus mencetak generasi cerdas?
Untuk itu pemerintah perlu mengkaji ulang kehadiran negara pada lembaga-lembaga swasta. Ya, selama ini dana Bosda (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) dan Bosnas (Bantuan Operasional Sekolah Nasional) juga digelontorkan kepada sekolah swasta. Namun, dana tersebut dibagi-bagi untuk berbagai kebutuhan penyelenggaraan pendidikan sekolah. Padahal jika melihat permasalahan yang terjadi, tampaknya lebih penting untuk mengutamakan jaminan kesejahteraan guru.
Sehingga, guru sekolah swasta bisa fokus mengajar di satu sekolah saja. Di sisi lain, guru-guru tersebut bisa diberdayakan secara penuh dalam memajukan lembaga. Harapannya tak ada lagi sekolah swasta yang kekurangan murid. Sebab, dampak dari hal itu pun cukup banyak. Di antaranya kualitas pendidikan yang tidak baik. Kewajiban sekolah yang tak bisa dijalankan secara penuh. Dan banyak lagi lainnya.
Untuk itu, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang perannya. Di waktu yang sama pihak swasta juga perlu memiliki orientasi layanan pendidikan yang prima dengan mengedepankan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak semata-mata menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis. Sebab, tak jarang sekolah swasta hanya menjadi alat untuk meraup keuntungan dengan merekrut siswa sebanyak-banyaknya. (*)
Saran dan kritik ke email: fajarandress@gmail.com