22.7 C
Malang
Selasa, Desember 5, 2023

ChatGPT, I, Robot dan Anak Cak Nun

RADAR MALANG – Dunia kontemporer sedang berada di persimpangan sejarah. Artificial Intelligence (AI) lewat popularitas ChatGPT semakin tidak terelakkan telah membawa disrupsi bagi arah peradaban manusia. Dadu takdir pun sudah dilemparkan. Ke manakah peradaban miliaran umat manusia bergerak 5, 10, 50 atau 100 tahun ke depan dengan machine learning?

Dari pemikiran ini, saya menjiplak dan memodifikasi rumusan masalah yang diungkapkan Gita Wirjawan. Gita sempat mendiskusikan ChatGPT, yang bisa melakukan simulasi perbincangan dengan manusia. Diskusi seru itu dicetuskan Gita bersama Sabrang Mowo Damar Panuluh atau Noe “Letto”, di channel YouTube miliknya, End Game, beberapa pekan lalu.

Gita sempat mencetuskan rumusan masalah: Akankah AI membawa utopia atau distopia bagi ekonomi? Secara teknis, ekonomi sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan umat manusia. Maka, bisa saya tafsirkan bahwa rumusan masalah berikut ini juga masih relevan dengan topik tersebut; Akankah AI menjadi utopia atau distopia bagi peradaban manusia?

Sebelum itu, izinkan saya memberi definisi pendek tentang apa sebenarnya ChatGPT. Dari jurnal-jurnal penelitian terbaru yang terbuka untuk publik, definisi ChatGPT adalah mesin chatting dengan kecerdasan buatan. Algoritmanya memungkinkan untuk memahami bahasa manusia dan menjawab pertanyaan dengan jawaban yang selengkap mungkin. Istilah yang dipakai adalah Large Language Model (LLM).

ChatGPT secara konstan meningkatkan kemampuannya memahami pertanyaan manusia, lewat Reinforcement Learning from Human Feedback (RLHF). ChatGPT juga memungkinkan memberi jawaban cepat atas perintah. Contohnya, buatkan narasi untuk topik tertentu; Cari informasi tentang topik tertentu; Susun email atau pesan dengan nada, konten dan tujuan tertentu kepada orang tertentu.

Berbeda dengan Google yang menyajikan link-link website, ChatGPT secara spesifik menyediakan apa yang diminta. Misalnya, kita meminta naskah sambutan untuk acara pernikahan anak kita yang digelar dengan adat Jawa, dengan model pemberkatan pernikahan Kristen.

ChatGPT akan langsung menyediakan template atau kerangka utuh kata sambutan yang memenuhi unsur adat Jawa, dan memperhitungkan nilai-nilai spiritual kristiani di dalam naskah tersebut. Pengguna hanya tinggal mengisi nama-nama di dalam template itu, dan sambutan pernikahan yang cukup sempurna pun langsung jadi.

Selanjutnya, definisi utopia adalah sebuah cita-cita masyarakat futuristik yang sejahtera dan sempurna, lengkap dengan kemajuan peradaban, kehidupan sosial dan hukum yang ideal. Sebaliknya, distopia menggambarkan masyarakat futuristik yang rusak, anarkis dan kacau.

Sabrang, putra dari Cak Nun sempat menyebutkan dikotomi ini lewat hasil diskusinya dengan sejumlah pemikir dari berbagai belahan dunia. Potensi AI mendukung masyarakat utopia atau membawa distopia juga dibahas mendalam.

Pada satu sisi, digambarkan bahwa AI bisa cenderung membawa distopia bagi kehidupan manusia. Semua langkah, tindakan dan gagasan akan sepenuhnya dituntun oleh kecerdasan buatan. Saya jadi teringat film I, Robot yang dimainkan Will Smith.

Baca Juga:  UMKM Mamin dan Imunitas Ekonomi

Kira-kira gambaran ekstrem AI adalah seperti plot cerita dalam sinema tersebut. Robot membuat keputusan yang dirasa terbaik bagi manusia. Walaupun, pada akhirnya keputusan robot itu melanggar kehendak bebas manusia dan bahkan menyakiti umat manusia.

Jangan pikir bahwa apa yang terjadi pada film I, Robot baru akan terjadi 1000 tahun lagi. Sabrang menegaskan sudah ada tindakan manusia yang diputuskan setelah menerima sugesti dari mesin.

Contohnya, kita menonton trending Google atau YouTube, explore Instagram atau fyp TikTok. Apa yang trending merupakan hasil sugesti algoritma mesin yang disodorkan pada manusia sebelum memilih.

Dalam teori media, uses and gratification menganggap manusia punya kehendak bebas serta kuasa memilih informasi apa yang dia konsumsi. Tetapi, bagaimana bila semua pilihan konsumsi media sudah dimanipulasi oleh algoritma kecerdasan buatan?

Bagaimana bila ternyata sodoran tampilan informasi tidak pernah lepas dari sugesti dari mesin tersebut? Apakah kehendak bebas manusia untuk memilih benar-benar bebas?

Pada sisi yang lain, Sabrang tidak sepenuhnya setuju dengan kaum alarmist yang menganggap AI adalah awal masyarakat distopia nan chaos. Perspektif masa depan AI dalam penegakan hukum dan politik negara ditengara masih cukup menjanjikan. Penggunaan AI sebagai hakim yang adil, tanpa bias dan netral, digagas dalam pemikiran utopis.

AI mampu memproses semua database produk hukum dan undang-undang. Keputusannya pun sepenuhnya akan bergantung pada database hukum tersebut. Hakim AI tidak akan salah pasal. Hakim AI tak lupa KUHP. Integritas hakim AI juga diklaim jauh lebih dapat dipercaya. Hakim AI tidak tidur saat sidang berlangsung. Hakim AI tidak bisa disogok. Hakim AI tidak korupsi, tidak menjilat atasan dan tidak menyiksa bawahan.

Sehingga, pada skenario tersebut, keputusan hakim AI pun jauh lebih bisa diterima. Itu bila membandingkan dengan berbagai realitas hukum yang terjadi di sekitar kita beberapa waktu belakangan, seperti proses hukum tragedi Kanjuruhan.

Pandangan utopis juga menggambarkan masa depan AI sebagai pendukung konsep fluid democracy. Konsepnya kira-kira begini : AI merekam semua preferensi politik manusia, condong ke partai mana dan siapa sosok politisi favorit. AI menyajikan data semua tokoh politik secara terbuka.

Misalnya, siapa yang pernah masuk penjara; Siapa yang pernah terjerat narkoba; Siapa yang konservatif; Siapa yang liberal; Siapa yang tidak pernah berurusan dengan hukum; Berapa kekayaan politisi yang terdaftar di LHKPN; Berapa jumlah mobil politisi itu; Apakah punya tanah luas; Bagaimana gaya hidupnya, mewah atau sederhana.

Baca Juga:  Di Pasar Oro-Oro Dowo, Yatim Mandiri Traktir Belanja Loper Koran Radar Malang

Semua preferensi ini disaring menjadi sugesti lengkap yang sesuai dengan preferensi konstituen. Sehingga, sebelum memilih dalam Pemilu, konstituen telah mendapatkan hak informasinya tentang calon pilihannya, sebenar-benarnya, selengkap-lengkapnya.

Melihat dua gambaran tersebut, saya pun kembali mengajak pembaca untuk berpikir. Pertanyaan pertama, apakah realisasi skenario-skenario ini akan membawa bangsa kita kepada kemajuan atau kehancuran? Akankah Indonesia menjadi negara utopis atau distopia bila mengadopsi sepenuhnya AI?

Pertanyaan kedua, mampukah duit kita, rakyat Indonesia, yang dikelola pemerintah, untuk mewujudkan teknologi ini?

Penguasa Algoritma = Penguasa Dunia

Dalam diskusinya dengan Sabrang, Gita Wirjawan menyebut keterbatasan infrastruktur AI akan memunculkan elitisasi kesejahteraan. Infrastruktur AI kini dikuasai negara barat dan superpower seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.

Secara otomatis, keterbatasan infrastruktur AI memunculkan monopoli. Karena ada infrastruktur AI dimonopoli, jarak negara miskin dan kaya semakin lebar. Sebab, bila semua aspek kehidupan sudah dikuasai AI, siapa yang mampu (secara infrastruktur) akan maju, melebihi yang tidak mampu, kata Gita.

Gambaran pemikiran Gita tersebut sudah terlihat di dunia media sosial. Manipulasi pemerintah Tiongkok atas trending fyp TikTok telah menjadi rahasia umum. Algoritma TikTok di Tiongkok cenderung menampilkan prestasi, penelitian sains dan semua hal positif untuk mendorong anak muda di sana produktif dan berpretasi.

Sementara, bandingkan dengan TikTok yang kini berada di handphone anda. Masih adakah sesekali terselip video wanita muda bergoyang seronok atau sugesti video bokep viral yang berkeliaran di fyp anda? Inilah monopoli algoritma dan manipulasi infrastruktur AI yang secara tersirat tergambar dari paparan Gita.

Indonesia sebenarnya kaya akan sumber daya pendukung teknologi informasi untuk melawan monopoli tersebut. Kalau tak mampu menguasai sepenuhnya, minimal Indonesia punya daya tawar agar tak jadi bulan-bulanan penguasa infrastruktur algoritma.

Bauksit misalnya, sangat banyak di Indonesia dan merupakan sumber daya vital bagi teknologi informasi. Tetapi, bila pemerintah tidak mampu menciptakan daya tawar dan ekosistem pendukungnya di era AI, Indonesia akan semakin ketinggalan.

Masa depan Indonesia pun hanya akan jadi negara pasar tempat perusahaan asing memasarkan barangnya. Atau, jangan-jangan kita sebenarnya sudah menjadi negara yang demikian? Fyp TikTok akan tetap berisi sugesti seronok dan sugesti mesum. Kita akan jadi seperti sapi perah yang dikendalikan mesin di film I, Robot.

Maka, seruan untuk sadar pun tak henti-hentinya didengungkan para cendekiawan dan negarawan bangsa. Harus ada perubahan dari semua lini masyarakat. Jangan sampai keputusan politik bangsa malah makin mendorong Indonesia menuju era distopia. Semoga Allah melindungi kita semua, dan anak cucu kita, 50, 100 hingga 1000 tahun lagi.(*)

RADAR MALANG – Dunia kontemporer sedang berada di persimpangan sejarah. Artificial Intelligence (AI) lewat popularitas ChatGPT semakin tidak terelakkan telah membawa disrupsi bagi arah peradaban manusia. Dadu takdir pun sudah dilemparkan. Ke manakah peradaban miliaran umat manusia bergerak 5, 10, 50 atau 100 tahun ke depan dengan machine learning?

Dari pemikiran ini, saya menjiplak dan memodifikasi rumusan masalah yang diungkapkan Gita Wirjawan. Gita sempat mendiskusikan ChatGPT, yang bisa melakukan simulasi perbincangan dengan manusia. Diskusi seru itu dicetuskan Gita bersama Sabrang Mowo Damar Panuluh atau Noe “Letto”, di channel YouTube miliknya, End Game, beberapa pekan lalu.

Gita sempat mencetuskan rumusan masalah: Akankah AI membawa utopia atau distopia bagi ekonomi? Secara teknis, ekonomi sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan umat manusia. Maka, bisa saya tafsirkan bahwa rumusan masalah berikut ini juga masih relevan dengan topik tersebut; Akankah AI menjadi utopia atau distopia bagi peradaban manusia?

Sebelum itu, izinkan saya memberi definisi pendek tentang apa sebenarnya ChatGPT. Dari jurnal-jurnal penelitian terbaru yang terbuka untuk publik, definisi ChatGPT adalah mesin chatting dengan kecerdasan buatan. Algoritmanya memungkinkan untuk memahami bahasa manusia dan menjawab pertanyaan dengan jawaban yang selengkap mungkin. Istilah yang dipakai adalah Large Language Model (LLM).

ChatGPT secara konstan meningkatkan kemampuannya memahami pertanyaan manusia, lewat Reinforcement Learning from Human Feedback (RLHF). ChatGPT juga memungkinkan memberi jawaban cepat atas perintah. Contohnya, buatkan narasi untuk topik tertentu; Cari informasi tentang topik tertentu; Susun email atau pesan dengan nada, konten dan tujuan tertentu kepada orang tertentu.

Berbeda dengan Google yang menyajikan link-link website, ChatGPT secara spesifik menyediakan apa yang diminta. Misalnya, kita meminta naskah sambutan untuk acara pernikahan anak kita yang digelar dengan adat Jawa, dengan model pemberkatan pernikahan Kristen.

ChatGPT akan langsung menyediakan template atau kerangka utuh kata sambutan yang memenuhi unsur adat Jawa, dan memperhitungkan nilai-nilai spiritual kristiani di dalam naskah tersebut. Pengguna hanya tinggal mengisi nama-nama di dalam template itu, dan sambutan pernikahan yang cukup sempurna pun langsung jadi.

Selanjutnya, definisi utopia adalah sebuah cita-cita masyarakat futuristik yang sejahtera dan sempurna, lengkap dengan kemajuan peradaban, kehidupan sosial dan hukum yang ideal. Sebaliknya, distopia menggambarkan masyarakat futuristik yang rusak, anarkis dan kacau.

Sabrang, putra dari Cak Nun sempat menyebutkan dikotomi ini lewat hasil diskusinya dengan sejumlah pemikir dari berbagai belahan dunia. Potensi AI mendukung masyarakat utopia atau membawa distopia juga dibahas mendalam.

Pada satu sisi, digambarkan bahwa AI bisa cenderung membawa distopia bagi kehidupan manusia. Semua langkah, tindakan dan gagasan akan sepenuhnya dituntun oleh kecerdasan buatan. Saya jadi teringat film I, Robot yang dimainkan Will Smith.

Baca Juga:  Empat Kompetensi Pengusaha

Kira-kira gambaran ekstrem AI adalah seperti plot cerita dalam sinema tersebut. Robot membuat keputusan yang dirasa terbaik bagi manusia. Walaupun, pada akhirnya keputusan robot itu melanggar kehendak bebas manusia dan bahkan menyakiti umat manusia.

Jangan pikir bahwa apa yang terjadi pada film I, Robot baru akan terjadi 1000 tahun lagi. Sabrang menegaskan sudah ada tindakan manusia yang diputuskan setelah menerima sugesti dari mesin.

Contohnya, kita menonton trending Google atau YouTube, explore Instagram atau fyp TikTok. Apa yang trending merupakan hasil sugesti algoritma mesin yang disodorkan pada manusia sebelum memilih.

Dalam teori media, uses and gratification menganggap manusia punya kehendak bebas serta kuasa memilih informasi apa yang dia konsumsi. Tetapi, bagaimana bila semua pilihan konsumsi media sudah dimanipulasi oleh algoritma kecerdasan buatan?

Bagaimana bila ternyata sodoran tampilan informasi tidak pernah lepas dari sugesti dari mesin tersebut? Apakah kehendak bebas manusia untuk memilih benar-benar bebas?

Pada sisi yang lain, Sabrang tidak sepenuhnya setuju dengan kaum alarmist yang menganggap AI adalah awal masyarakat distopia nan chaos. Perspektif masa depan AI dalam penegakan hukum dan politik negara ditengara masih cukup menjanjikan. Penggunaan AI sebagai hakim yang adil, tanpa bias dan netral, digagas dalam pemikiran utopis.

AI mampu memproses semua database produk hukum dan undang-undang. Keputusannya pun sepenuhnya akan bergantung pada database hukum tersebut. Hakim AI tidak akan salah pasal. Hakim AI tak lupa KUHP. Integritas hakim AI juga diklaim jauh lebih dapat dipercaya. Hakim AI tidak tidur saat sidang berlangsung. Hakim AI tidak bisa disogok. Hakim AI tidak korupsi, tidak menjilat atasan dan tidak menyiksa bawahan.

Sehingga, pada skenario tersebut, keputusan hakim AI pun jauh lebih bisa diterima. Itu bila membandingkan dengan berbagai realitas hukum yang terjadi di sekitar kita beberapa waktu belakangan, seperti proses hukum tragedi Kanjuruhan.

Pandangan utopis juga menggambarkan masa depan AI sebagai pendukung konsep fluid democracy. Konsepnya kira-kira begini : AI merekam semua preferensi politik manusia, condong ke partai mana dan siapa sosok politisi favorit. AI menyajikan data semua tokoh politik secara terbuka.

Misalnya, siapa yang pernah masuk penjara; Siapa yang pernah terjerat narkoba; Siapa yang konservatif; Siapa yang liberal; Siapa yang tidak pernah berurusan dengan hukum; Berapa kekayaan politisi yang terdaftar di LHKPN; Berapa jumlah mobil politisi itu; Apakah punya tanah luas; Bagaimana gaya hidupnya, mewah atau sederhana.

Baca Juga:  Di Musrenbang Lowokwaru, Sutiaji Minta Usulan Fokus Skala Prioritas

Semua preferensi ini disaring menjadi sugesti lengkap yang sesuai dengan preferensi konstituen. Sehingga, sebelum memilih dalam Pemilu, konstituen telah mendapatkan hak informasinya tentang calon pilihannya, sebenar-benarnya, selengkap-lengkapnya.

Melihat dua gambaran tersebut, saya pun kembali mengajak pembaca untuk berpikir. Pertanyaan pertama, apakah realisasi skenario-skenario ini akan membawa bangsa kita kepada kemajuan atau kehancuran? Akankah Indonesia menjadi negara utopis atau distopia bila mengadopsi sepenuhnya AI?

Pertanyaan kedua, mampukah duit kita, rakyat Indonesia, yang dikelola pemerintah, untuk mewujudkan teknologi ini?

Penguasa Algoritma = Penguasa Dunia

Dalam diskusinya dengan Sabrang, Gita Wirjawan menyebut keterbatasan infrastruktur AI akan memunculkan elitisasi kesejahteraan. Infrastruktur AI kini dikuasai negara barat dan superpower seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.

Secara otomatis, keterbatasan infrastruktur AI memunculkan monopoli. Karena ada infrastruktur AI dimonopoli, jarak negara miskin dan kaya semakin lebar. Sebab, bila semua aspek kehidupan sudah dikuasai AI, siapa yang mampu (secara infrastruktur) akan maju, melebihi yang tidak mampu, kata Gita.

Gambaran pemikiran Gita tersebut sudah terlihat di dunia media sosial. Manipulasi pemerintah Tiongkok atas trending fyp TikTok telah menjadi rahasia umum. Algoritma TikTok di Tiongkok cenderung menampilkan prestasi, penelitian sains dan semua hal positif untuk mendorong anak muda di sana produktif dan berpretasi.

Sementara, bandingkan dengan TikTok yang kini berada di handphone anda. Masih adakah sesekali terselip video wanita muda bergoyang seronok atau sugesti video bokep viral yang berkeliaran di fyp anda? Inilah monopoli algoritma dan manipulasi infrastruktur AI yang secara tersirat tergambar dari paparan Gita.

Indonesia sebenarnya kaya akan sumber daya pendukung teknologi informasi untuk melawan monopoli tersebut. Kalau tak mampu menguasai sepenuhnya, minimal Indonesia punya daya tawar agar tak jadi bulan-bulanan penguasa infrastruktur algoritma.

Bauksit misalnya, sangat banyak di Indonesia dan merupakan sumber daya vital bagi teknologi informasi. Tetapi, bila pemerintah tidak mampu menciptakan daya tawar dan ekosistem pendukungnya di era AI, Indonesia akan semakin ketinggalan.

Masa depan Indonesia pun hanya akan jadi negara pasar tempat perusahaan asing memasarkan barangnya. Atau, jangan-jangan kita sebenarnya sudah menjadi negara yang demikian? Fyp TikTok akan tetap berisi sugesti seronok dan sugesti mesum. Kita akan jadi seperti sapi perah yang dikendalikan mesin di film I, Robot.

Maka, seruan untuk sadar pun tak henti-hentinya didengungkan para cendekiawan dan negarawan bangsa. Harus ada perubahan dari semua lini masyarakat. Jangan sampai keputusan politik bangsa malah makin mendorong Indonesia menuju era distopia. Semoga Allah melindungi kita semua, dan anak cucu kita, 50, 100 hingga 1000 tahun lagi.(*)

Artikel Terkait

Kepincangan Layanan Pendidikan

Jaring Pengaman Antibunuh Diri

Pudarnya Wisata Kuliner Payung

Bayi, Lansia, dan Pejabat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/