22.4 C
Malang
Rabu, November 15, 2023

Resolusi 2023

BEBERAPA hari sebelum tahun baru, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ikut-ikutan membuat resolusi 2023 di media sosial (medsos). Di antara isi resolusinya adalah membeli nasi Padang, pergi ke Tanah Abang, dan menurunkan berat badan 0,5 kilogram. Resolusi serupa juga banyak ditemukan di medsos. Isinya sangat sederhana, misalnya rutinitas sehari-hari.

Tentu saja, semua itu hanya guyonan. Kalau sekadar ingin membeli nasi Padang atau jalan-jalan ke Tanah Abang, tidak sulit bagi Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil. Tentu tak perlu dimasukkan dalam resolusi, karena berhasil membeli nasi Padang bukan suatu pencapaian.
Bisa jadi, Kang Emil atau para netizen yang membuat resolusi sederhana itu ingin menyindir kita semua. Khususnya yang rutin membuat resolusi tapi tidak mampu merealisasikannya.

Pada 2016 lalu, The University of Scranton melakukan penelitian terhadap orang-orang yang terbiasa membuat resolusi tahunan. Hasilnya, hanya 8 persen yang bisa mewujudkan resolusi yang mereka buat. Selebihnya, 92 persen mengalami kegagalan.

Faktor pemicu kegagalannya bisa bermacam-macam. Misalnya, mereka tidak fokus untuk mewujudkan resolusi tersebut. Atau tidak mengukur kemampuannya terlebih dahulu, sehingga resolusi yang dibuat terlalu berat untuk diwujudkan. Itu namanya tidak realistis. Kemungkinan lain, sekadar ikut-ikut tanpa merasa perlu merealisasikannya.

Baca Juga:  Narsis

Sebenarnya sah-sah saja orang membuat resolusi. Apalagi bukan kali ini saja orang beramai-ramai membuat resolusi dalam menyambut pergantian tahun. Berdasarkan beberapa literatur, budaya membuat resolusi tahun baru muncul sejak 4.000 tahun silam. Kali pertama dilakukan oleh bangsa Babilonia.

Untuk menghormati tahun baru, bangsa Babilonia berjanji kepada para dewa, bahwa mereka akan mengembalikan apa pun yang mereka pinjam. Janji-janji itu kemudian dianggap sebagai pelopor resolusi tahun baru.

Tapi sumber lain menyebut bahwa resolusi tahun baru merupakan budaya yang datang dari bangsa Romawi. Tepatnya pada 46 SM (Sebelum Masehi). Pada saat itu, Romawi menetapkan 1 Januari sebagai permulaan tahun. Itu sekaligus untuk menghormati Janus, sosok yang diyakini sebagai dewa bermuka dua sekaligus dewa permulaan baru. Penduduk pada era pemerintahan Julius Caesar juga melanjutkan tradisi tersebut.

Baca Juga:  Balada Gas “Genosida”

Seiring perkembangan zaman, resolusi tidak bersifat kolektif. Melainkan individual. Target capaiannya juga lebih luas. Tidak sekadar janji manusia kepada tuhannya seperti zaman Babilonia maupun Romawi kuno. Namun juga janji terhadap diri sendiri.

Point-point yang dimasukkan dalam resolusi antar individu juga bervariasi. Posisi dan kedudukan turut berpengaruh terhadap bobot resolusi yang mereka buat. Semakin tinggi posisi seseorang, biasanya resolusi yang dibuat juga semakin besar.
Rasanya perusahaan-perusahaan di Bumi Arema juga membuat resolusi tahunan. Misalnya, capaian-capaian apa saja yang akan dikejar di tahun 2023 ini. Namun penyebutannya bukan resolusi, melainkan target perusahaan.

Demikian juga pemerintah daerah (Pemda). Setiap mendekati akhir tahun, eksekutif dan legislatif duduk bersama untuk membahas program-program apa saja yang akan digarap pada tahun berikutnya. Semua program kerja beserta pembiayaan dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Apa pun resolusi yang Anda dibuat untuk menyambut tahun baru, semoga terwujud.(*)

BEBERAPA hari sebelum tahun baru, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ikut-ikutan membuat resolusi 2023 di media sosial (medsos). Di antara isi resolusinya adalah membeli nasi Padang, pergi ke Tanah Abang, dan menurunkan berat badan 0,5 kilogram. Resolusi serupa juga banyak ditemukan di medsos. Isinya sangat sederhana, misalnya rutinitas sehari-hari.

Tentu saja, semua itu hanya guyonan. Kalau sekadar ingin membeli nasi Padang atau jalan-jalan ke Tanah Abang, tidak sulit bagi Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil. Tentu tak perlu dimasukkan dalam resolusi, karena berhasil membeli nasi Padang bukan suatu pencapaian.
Bisa jadi, Kang Emil atau para netizen yang membuat resolusi sederhana itu ingin menyindir kita semua. Khususnya yang rutin membuat resolusi tapi tidak mampu merealisasikannya.

Pada 2016 lalu, The University of Scranton melakukan penelitian terhadap orang-orang yang terbiasa membuat resolusi tahunan. Hasilnya, hanya 8 persen yang bisa mewujudkan resolusi yang mereka buat. Selebihnya, 92 persen mengalami kegagalan.

Faktor pemicu kegagalannya bisa bermacam-macam. Misalnya, mereka tidak fokus untuk mewujudkan resolusi tersebut. Atau tidak mengukur kemampuannya terlebih dahulu, sehingga resolusi yang dibuat terlalu berat untuk diwujudkan. Itu namanya tidak realistis. Kemungkinan lain, sekadar ikut-ikut tanpa merasa perlu merealisasikannya.

Baca Juga:  Bangun Art Center Apa Atasi Sampah?

Sebenarnya sah-sah saja orang membuat resolusi. Apalagi bukan kali ini saja orang beramai-ramai membuat resolusi dalam menyambut pergantian tahun. Berdasarkan beberapa literatur, budaya membuat resolusi tahun baru muncul sejak 4.000 tahun silam. Kali pertama dilakukan oleh bangsa Babilonia.

Untuk menghormati tahun baru, bangsa Babilonia berjanji kepada para dewa, bahwa mereka akan mengembalikan apa pun yang mereka pinjam. Janji-janji itu kemudian dianggap sebagai pelopor resolusi tahun baru.

Tapi sumber lain menyebut bahwa resolusi tahun baru merupakan budaya yang datang dari bangsa Romawi. Tepatnya pada 46 SM (Sebelum Masehi). Pada saat itu, Romawi menetapkan 1 Januari sebagai permulaan tahun. Itu sekaligus untuk menghormati Janus, sosok yang diyakini sebagai dewa bermuka dua sekaligus dewa permulaan baru. Penduduk pada era pemerintahan Julius Caesar juga melanjutkan tradisi tersebut.

Baca Juga:  Orkestra Kajoetangan

Seiring perkembangan zaman, resolusi tidak bersifat kolektif. Melainkan individual. Target capaiannya juga lebih luas. Tidak sekadar janji manusia kepada tuhannya seperti zaman Babilonia maupun Romawi kuno. Namun juga janji terhadap diri sendiri.

Point-point yang dimasukkan dalam resolusi antar individu juga bervariasi. Posisi dan kedudukan turut berpengaruh terhadap bobot resolusi yang mereka buat. Semakin tinggi posisi seseorang, biasanya resolusi yang dibuat juga semakin besar.
Rasanya perusahaan-perusahaan di Bumi Arema juga membuat resolusi tahunan. Misalnya, capaian-capaian apa saja yang akan dikejar di tahun 2023 ini. Namun penyebutannya bukan resolusi, melainkan target perusahaan.

Demikian juga pemerintah daerah (Pemda). Setiap mendekati akhir tahun, eksekutif dan legislatif duduk bersama untuk membahas program-program apa saja yang akan digarap pada tahun berikutnya. Semua program kerja beserta pembiayaan dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Apa pun resolusi yang Anda dibuat untuk menyambut tahun baru, semoga terwujud.(*)

Artikel Terkait

Kepincangan Layanan Pendidikan

ChatGPT, I, Robot dan Anak Cak Nun

Jaring Pengaman Antibunuh Diri

Pudarnya Wisata Kuliner Payung

Terpopuler

Artikel Terbaru

/