28.4 C
Malang
Kamis, November 23, 2023

Dinamakan Jagalan karena Banyak Penjual Daging

Jejak Nama Kampung-Kampung yang Unik di Malang Raya (27)

DI INDONESIA ada beberapa daerah yang memiliki kawasan dengan sebutan Jagalan. Mulai dari Yogyakarta, Surakarta, Solo, Semarang, Surabaya, hingga Malang. Saat ini, Jagalan di Kota Malang merupakan perkampungan yang meliputi RW 09 dan RW 10 Kelurahan Kasin (Jalan Kapten Pierre Tandean) dan RW 02 Kelurahan Sukoharjo (Jalan Sutan Syahrir).

Catatan sejarah menyebutkan bahwa penamaan Jagalan didasarkan pada kondisi kawasan di daerah-daerah tersebut pada masa lampau.

Yakni karena banyaknya warga yang berprofesi sebagai tukang potong ternak (jagal) atau penjual daging. Namun, belum ditemukan data lampau mengenai jumlah pasti tukang jagal, terutama yang bermukim di Jagalan, Kota Malang.

Buku berjudul Toponim Kota Malang karya Ismail Lutfi dan kawan-kawan menyebutkan, nama Kampung Jagalan diambil dari kata jagal. Kata itu mengalami afiksasi atau memiliki imbuhan, sehingga menjadi Jagalan.

Sebelum Belanda membangun abattoir (rumah potong hewan) di Mergosono, masyarakat yang berprofesi sebagai tukang jagal memotong ternak secara mandiri. Para pemotong ternak itu merupakan orang-orang yang melakukan pekerjaan khusus di tempat pemotongan hewan (Jagalan).

Interpretasi penamaan Jagalan juga didasarkan pada lokasi kawasan yang berdekatan dengan Pasar Besar. Pasar itu menjadi tempat para jagal untuk menjual daging. Letaknya yang tak jauh dari Embong Arab seolah mengonfirmasi validitas banyaknya tukang jagal. Mengingat orang keturunan Arab merupakan konsumen produk daging sapi dan kambing.

Penyebutan Jagalan bisa ditemukan pula di Practisch: Maleisch-Hollandsch En Holiandsch Maleisch (Kamus Bahasa MelayuBelanda). Kamus itu menyebutkan bahwa ejaan lama jagal adalah djagal yang dalam Bahasa Jawa berarti tukang daging atau penjual daging. Sementara pëdjagalan merupakan tempat pembantaian, tempat penjualan daging, atau toko daging.

Versi yang sama juga dituturkan beberapa warga, terutama mereka yang sudah tinggal cukup lama di Jagalan. Salah satunya Ahmad Fahruddin. Pria yang akrab disapa Rudi itu mengatakan, saat ini keluarganya mendiami rumah di RW 01, Jalan Mangun Sarkoro, Kelurahan Jodipan. Namun dia banyak tahu sejarah Jagalan karena lahir dan besar di Jalan Sutan Syahrir Gang 2 sejak 1966.

Baca Juga:  Siswa SD Ini Nekat Masuk Sekolah, Demi Apa?  

Rudi membenarkan jika dulu Jagalan adalah kawasan yang dihuni para tukang jagal. Termasuk kakeknya yang merupakan jagal sapi dan kambing. Saat kecil, Rudi rajin membantu sang kakek memotong kambing di rumah. Sementara sapi dipotong di tempat yang sekarang menjadi Perumda Tunas.

”Kebetulan, waktu saya kecil sapi sudah dipotong di Gadang (Perumda Tunas, red). Biasanya kami akan mengantar sapi pada malam hari dan diambil pagi hari saat sudah dipotong,” ujarnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, banyak warga yang meninggalkan pekerjaan sebagai tukang jagal. Mereka memilih pekerjaan lain yang dianggap lebih menjanjikan. Lambat laun jumlah tukang jagal terus berkurang. Bahkan ”menghilang” sekitar tahun 1980-an.

Terkait sisi demografis, Rudi menyebutkan bahwa sejak dulu kawasan Jagalan dihuni orang-orang dari berbagai kelompok. Mulai dari pribumi, etnis Tionghoa, hingga keturunan Arab. Rudi termasuk warga keturunan Pakistan dan Jawa.

Kondisi fisik Jagalan juga sudah banyak berubah. Dulu terbilang sempit dengan jalan seluas 3 meter. Melalui pembangunan bertahap, jalan di kawasan Jagalan semakin Kini lebar.

Kisah masa lalu Jagalan juga dituturkan Bambang Hendri Santoso. Sama seperti Rudi, pria pemilik toko pracangan itu tinggal di Jagalan sejak 1966. Tepatnya di RT 11/RW 10, Jalan Halmahera Nomor 48, Kelurahan Kasin. Sebelum itu, keluarganya pindah dari sebuah daerah ke rumah bekas milik Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).

”Kebetulan ayah saya adalah pegawai PJKA. Sehingga tinggal di kawasan ini yang merupakan bekas perumahan milik PJKA,” cerita pria yang juga pemilik warung makan tersebut.

Baca Juga:  Operasi Gabungan Tertibkan Parkir di Kota Malang Harus Makin Kontinyu

Bambang menceritakan, Jagalan dulu terbagi jadi tiga. Yakni, Djagalanstraat yang kini menjadi Jalan Kapten Pierre Tendean. Selanjutnya, Djagalantramstraat yang sekarang menjadi Jalan Sutan Syahrir. Dan yang terakhir adalah Jalan Jagalan Asem.

”Disebut Jalan Jagalan Tram karena di sana dulu ada jalur trem dari Kotalama sampai Alun-alun Merdeka dan stasiun kota baru. Tapi sekarang jalurnya sudah diputus,” terangnya. Sementara untuk Jalan Jagalan Asem, penyebutannya bermula dari banyaknya pohon asem di lokasi itu. Namun sekarang pohon-pohon asem tersebut sudah tidak ada.

Keberadaan Jalan Jagalan Asem juga dibenarkan oleh Sameri, warga RW 09, Kelurahan Kasin. Saat ini Sameri merupakan warga paling senior di kawasan tersebut. Dia lahir pada 1937 di Jagalan setelah keluarganya pindah dari Magetan pada 1917.

Sameri masih ingat, kawasan tempat dia tinggal dulu disebut Jalan Jagalan Asem. ”Embong niku kathah wit e asem (di jalan itu banyak pohon asem) ,” tutur Sameri dengan Bahasa Jawa kental.

Selain khas dengan pohon asem dan tukang jagal, di Kampung Jagalan tempo dulu juga terdapat warga dengan profesi lain. Seperti pedagang ikan asin hingga pedagang sandal. Bahkan, dalam buku Gids Voor Malang En Omstreken disebutkan ada toko kayu jati di sana.

Pendapat bahwa Jagalan sebagai kawasan dengan banyak tukang jagal juga disetujui pengamat sejarah Kota Malang Suwardono. Dia mengatakan, dulu tempat pembantaian hewan sebelum dipindah ke Gadang berada di sekitar stasiun trem Jagalan. Namun dia tidak tahu letak persisnya.

”Penataan kampung berdasar kondisi aktivitas ekonomi masyarakat seperti di Jagalan memang biasa dilakukan pemerintah kolonial. Seperti halnya di Pecinan dan Kauman,” tuturnya. Penataan kawasan seperti itu dilakukan berdasar aturan gemeente masing-masing. Namun, secara etimologi, Suwardono mengatakan bahwa jagal merupakan Bahasa Jawa baru. (*/fat)

Jejak Nama Kampung-Kampung yang Unik di Malang Raya (27)

DI INDONESIA ada beberapa daerah yang memiliki kawasan dengan sebutan Jagalan. Mulai dari Yogyakarta, Surakarta, Solo, Semarang, Surabaya, hingga Malang. Saat ini, Jagalan di Kota Malang merupakan perkampungan yang meliputi RW 09 dan RW 10 Kelurahan Kasin (Jalan Kapten Pierre Tandean) dan RW 02 Kelurahan Sukoharjo (Jalan Sutan Syahrir).

Catatan sejarah menyebutkan bahwa penamaan Jagalan didasarkan pada kondisi kawasan di daerah-daerah tersebut pada masa lampau.

Yakni karena banyaknya warga yang berprofesi sebagai tukang potong ternak (jagal) atau penjual daging. Namun, belum ditemukan data lampau mengenai jumlah pasti tukang jagal, terutama yang bermukim di Jagalan, Kota Malang.

Buku berjudul Toponim Kota Malang karya Ismail Lutfi dan kawan-kawan menyebutkan, nama Kampung Jagalan diambil dari kata jagal. Kata itu mengalami afiksasi atau memiliki imbuhan, sehingga menjadi Jagalan.

Sebelum Belanda membangun abattoir (rumah potong hewan) di Mergosono, masyarakat yang berprofesi sebagai tukang jagal memotong ternak secara mandiri. Para pemotong ternak itu merupakan orang-orang yang melakukan pekerjaan khusus di tempat pemotongan hewan (Jagalan).

Interpretasi penamaan Jagalan juga didasarkan pada lokasi kawasan yang berdekatan dengan Pasar Besar. Pasar itu menjadi tempat para jagal untuk menjual daging. Letaknya yang tak jauh dari Embong Arab seolah mengonfirmasi validitas banyaknya tukang jagal. Mengingat orang keturunan Arab merupakan konsumen produk daging sapi dan kambing.

Penyebutan Jagalan bisa ditemukan pula di Practisch: Maleisch-Hollandsch En Holiandsch Maleisch (Kamus Bahasa MelayuBelanda). Kamus itu menyebutkan bahwa ejaan lama jagal adalah djagal yang dalam Bahasa Jawa berarti tukang daging atau penjual daging. Sementara pëdjagalan merupakan tempat pembantaian, tempat penjualan daging, atau toko daging.

Versi yang sama juga dituturkan beberapa warga, terutama mereka yang sudah tinggal cukup lama di Jagalan. Salah satunya Ahmad Fahruddin. Pria yang akrab disapa Rudi itu mengatakan, saat ini keluarganya mendiami rumah di RW 01, Jalan Mangun Sarkoro, Kelurahan Jodipan. Namun dia banyak tahu sejarah Jagalan karena lahir dan besar di Jalan Sutan Syahrir Gang 2 sejak 1966.

Baca Juga:  7 Pasien Baru Pindah ke Isoter, Dandim 0833 Minta Warga Jangan Lengah

Rudi membenarkan jika dulu Jagalan adalah kawasan yang dihuni para tukang jagal. Termasuk kakeknya yang merupakan jagal sapi dan kambing. Saat kecil, Rudi rajin membantu sang kakek memotong kambing di rumah. Sementara sapi dipotong di tempat yang sekarang menjadi Perumda Tunas.

”Kebetulan, waktu saya kecil sapi sudah dipotong di Gadang (Perumda Tunas, red). Biasanya kami akan mengantar sapi pada malam hari dan diambil pagi hari saat sudah dipotong,” ujarnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, banyak warga yang meninggalkan pekerjaan sebagai tukang jagal. Mereka memilih pekerjaan lain yang dianggap lebih menjanjikan. Lambat laun jumlah tukang jagal terus berkurang. Bahkan ”menghilang” sekitar tahun 1980-an.

Terkait sisi demografis, Rudi menyebutkan bahwa sejak dulu kawasan Jagalan dihuni orang-orang dari berbagai kelompok. Mulai dari pribumi, etnis Tionghoa, hingga keturunan Arab. Rudi termasuk warga keturunan Pakistan dan Jawa.

Kondisi fisik Jagalan juga sudah banyak berubah. Dulu terbilang sempit dengan jalan seluas 3 meter. Melalui pembangunan bertahap, jalan di kawasan Jagalan semakin Kini lebar.

Kisah masa lalu Jagalan juga dituturkan Bambang Hendri Santoso. Sama seperti Rudi, pria pemilik toko pracangan itu tinggal di Jagalan sejak 1966. Tepatnya di RT 11/RW 10, Jalan Halmahera Nomor 48, Kelurahan Kasin. Sebelum itu, keluarganya pindah dari sebuah daerah ke rumah bekas milik Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).

”Kebetulan ayah saya adalah pegawai PJKA. Sehingga tinggal di kawasan ini yang merupakan bekas perumahan milik PJKA,” cerita pria yang juga pemilik warung makan tersebut.

Baca Juga:  50.434 Warga Kota Malang Menunggak Iuran Peserta BPJS

Bambang menceritakan, Jagalan dulu terbagi jadi tiga. Yakni, Djagalanstraat yang kini menjadi Jalan Kapten Pierre Tendean. Selanjutnya, Djagalantramstraat yang sekarang menjadi Jalan Sutan Syahrir. Dan yang terakhir adalah Jalan Jagalan Asem.

”Disebut Jalan Jagalan Tram karena di sana dulu ada jalur trem dari Kotalama sampai Alun-alun Merdeka dan stasiun kota baru. Tapi sekarang jalurnya sudah diputus,” terangnya. Sementara untuk Jalan Jagalan Asem, penyebutannya bermula dari banyaknya pohon asem di lokasi itu. Namun sekarang pohon-pohon asem tersebut sudah tidak ada.

Keberadaan Jalan Jagalan Asem juga dibenarkan oleh Sameri, warga RW 09, Kelurahan Kasin. Saat ini Sameri merupakan warga paling senior di kawasan tersebut. Dia lahir pada 1937 di Jagalan setelah keluarganya pindah dari Magetan pada 1917.

Sameri masih ingat, kawasan tempat dia tinggal dulu disebut Jalan Jagalan Asem. ”Embong niku kathah wit e asem (di jalan itu banyak pohon asem) ,” tutur Sameri dengan Bahasa Jawa kental.

Selain khas dengan pohon asem dan tukang jagal, di Kampung Jagalan tempo dulu juga terdapat warga dengan profesi lain. Seperti pedagang ikan asin hingga pedagang sandal. Bahkan, dalam buku Gids Voor Malang En Omstreken disebutkan ada toko kayu jati di sana.

Pendapat bahwa Jagalan sebagai kawasan dengan banyak tukang jagal juga disetujui pengamat sejarah Kota Malang Suwardono. Dia mengatakan, dulu tempat pembantaian hewan sebelum dipindah ke Gadang berada di sekitar stasiun trem Jagalan. Namun dia tidak tahu letak persisnya.

”Penataan kampung berdasar kondisi aktivitas ekonomi masyarakat seperti di Jagalan memang biasa dilakukan pemerintah kolonial. Seperti halnya di Pecinan dan Kauman,” tuturnya. Penataan kawasan seperti itu dilakukan berdasar aturan gemeente masing-masing. Namun, secara etimologi, Suwardono mengatakan bahwa jagal merupakan Bahasa Jawa baru. (*/fat)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/