22.5 C
Malang
Jumat, Desember 8, 2023

Atasi Kerusakan Pesisir Akibat Perubahan Iklim

PADA saat ini dunia dihadapkan dengan permasalahan perubahan iklim yang semakin intensif dan proses antropogenik yang semakin tinggi intensitasnya di kawasan pesisir. Peningkatan pembakaran bahan bakar fosil untuk listrik, pemanas, transportasi, deforestasi dan penurunan keanekaragaman hayati telah menyebabkan peningkatan gas rumah kaca. Peningkatan kosentrasi gas rumah kaca terus meningkat di atmosfer dengan mencapai rata-rata 410 ppm untuk CO2, dan 332 ppm untuk nitrogen Oxida (N2O) pada tahun 2019.

Di samping itu suhu permukaan global pun mengalami peningkatan dalam dua dekade pertama abad ke-21 (yaitu mulai 2001 sampai 2020) sebesar 0,99°C. Kondisi ini lebih tinggi dibanding 1850 sampai 1900. Tahun 2011-2020 suhu permukaan global mencapai 1,09°C lebih tinggi dibandingkan 1850 sampai 1900. Dengan peningkatan yang lebih besar di daratan sebesar 1,59°C dibandingkan dengan di atas lautan sebesar 0,88°C.

Dampak yang ditimbulkan terjadi pengasaman permukaan laut secara global yang disebabkan oleh menurunnya kadar oksigen pada pertengahan abad ke20. Diperkirakan sekitar 23 juta orang yang tinggal di pesisir Indonesia yang harus menghadapi ancaman banjir laut tahunan pada tahun 2050. Di samping itu diperkirakan ada ada 112 wilayah di Indonesia yang berpotensi akan tenggelam. Untuk mengatasi permasalahan dan dampak perubahan iklim, Kebijakan pemerintah Indonesia adalah berupaya mengurangi emisi sebesar 29% sampai tahun 2030. Rusaknya pesisir diakibatkan karena pelayanan ekosistem pesisir mangrove, rawa pasang surut, terumbu karang dan padang lamun tidak memberikan pelayanan optimal, seperti tidak dapat memberikan perlindungan dari badai dan kenaikan permukaan air laut, pencegahan erosi dan garis pantai mundur akibat abrasi.

Baca Juga:  Jalur Satu Arah Kajoetangan Belum Ramah Penyeberang Jalan

Terdegradasinya kawasan pesisir memerlukan solusi untuk pengurangan emisi CO2. Mangrove, sebagai ekosistem pesisir yang memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon yang sangat efisien dengan jumlah besar untuk waktu yang lama. Penelitian ini dilakukan di empat lokasi, antara lain: pesisir Kabupaten Lamongan, Desa Penunggal-Kabupaten Pasuruan, Alas Purwo-Taman Nasional Kabupaten Banyuwangi, dan Pesisir Clungup-Kabupaten Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makin rapat hutan mangrove penyerapan karbon makin tinggi.

Untuk itu kebijakan meningkatan kerapatan dan kepadatan hutan mangrove ke depan menjadi penting untuk mengurangi emisi CO2 Untuk mencapai tujuan meningkatkan kerapatan dan kepadatan hutan mangrove, memerlukan model dengan integrasi 3 (tiga) model yaitu model DPSIR, PLS dan AHP. Hasil integrasi menghasilkan model Restorasi ekosistem Mangrove desa pesisir. Model tersebut berbasiskan collaborative management.Harapan ke depannya agar seluruh pemerintah Kota/Kabupaten yang memiliki kawasan pesisir dapat menyusun program dan kegiatan jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (tahunan) yang lengkap dengan rencana tindak keterpaduan penyusunan program (integrated program action plan) dan rencana tindak kelembagaan (institutional action plan) dan rencana tindak keuangan (financing action plan). (*)

PADA saat ini dunia dihadapkan dengan permasalahan perubahan iklim yang semakin intensif dan proses antropogenik yang semakin tinggi intensitasnya di kawasan pesisir. Peningkatan pembakaran bahan bakar fosil untuk listrik, pemanas, transportasi, deforestasi dan penurunan keanekaragaman hayati telah menyebabkan peningkatan gas rumah kaca. Peningkatan kosentrasi gas rumah kaca terus meningkat di atmosfer dengan mencapai rata-rata 410 ppm untuk CO2, dan 332 ppm untuk nitrogen Oxida (N2O) pada tahun 2019.

Di samping itu suhu permukaan global pun mengalami peningkatan dalam dua dekade pertama abad ke-21 (yaitu mulai 2001 sampai 2020) sebesar 0,99°C. Kondisi ini lebih tinggi dibanding 1850 sampai 1900. Tahun 2011-2020 suhu permukaan global mencapai 1,09°C lebih tinggi dibandingkan 1850 sampai 1900. Dengan peningkatan yang lebih besar di daratan sebesar 1,59°C dibandingkan dengan di atas lautan sebesar 0,88°C.

Dampak yang ditimbulkan terjadi pengasaman permukaan laut secara global yang disebabkan oleh menurunnya kadar oksigen pada pertengahan abad ke20. Diperkirakan sekitar 23 juta orang yang tinggal di pesisir Indonesia yang harus menghadapi ancaman banjir laut tahunan pada tahun 2050. Di samping itu diperkirakan ada ada 112 wilayah di Indonesia yang berpotensi akan tenggelam. Untuk mengatasi permasalahan dan dampak perubahan iklim, Kebijakan pemerintah Indonesia adalah berupaya mengurangi emisi sebesar 29% sampai tahun 2030. Rusaknya pesisir diakibatkan karena pelayanan ekosistem pesisir mangrove, rawa pasang surut, terumbu karang dan padang lamun tidak memberikan pelayanan optimal, seperti tidak dapat memberikan perlindungan dari badai dan kenaikan permukaan air laut, pencegahan erosi dan garis pantai mundur akibat abrasi.

Baca Juga:  Kecelakaan Maut, Pemotor Tewas Terseret Truk di Mergosono Malang

Terdegradasinya kawasan pesisir memerlukan solusi untuk pengurangan emisi CO2. Mangrove, sebagai ekosistem pesisir yang memiliki potensi menyerap dan menyimpan karbon yang sangat efisien dengan jumlah besar untuk waktu yang lama. Penelitian ini dilakukan di empat lokasi, antara lain: pesisir Kabupaten Lamongan, Desa Penunggal-Kabupaten Pasuruan, Alas Purwo-Taman Nasional Kabupaten Banyuwangi, dan Pesisir Clungup-Kabupaten Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makin rapat hutan mangrove penyerapan karbon makin tinggi.

Untuk itu kebijakan meningkatan kerapatan dan kepadatan hutan mangrove ke depan menjadi penting untuk mengurangi emisi CO2 Untuk mencapai tujuan meningkatkan kerapatan dan kepadatan hutan mangrove, memerlukan model dengan integrasi 3 (tiga) model yaitu model DPSIR, PLS dan AHP. Hasil integrasi menghasilkan model Restorasi ekosistem Mangrove desa pesisir. Model tersebut berbasiskan collaborative management.Harapan ke depannya agar seluruh pemerintah Kota/Kabupaten yang memiliki kawasan pesisir dapat menyusun program dan kegiatan jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (tahunan) yang lengkap dengan rencana tindak keterpaduan penyusunan program (integrated program action plan) dan rencana tindak kelembagaan (institutional action plan) dan rencana tindak keuangan (financing action plan). (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/