Wilayah Klayatan ada dalam dokumen Kaart van Malang en Omstreken (peta Malang dan sekitarnya.
Peta tersebut dibuat oleh Batavia: Topografisch Buereau. Dalam peta yang terbit di tahun 1882 itu, Klayatan dulu disebut dengan Desa Klajattan. Letaknya bersebelahan dengan Desa Kemantren. Sekarang, Klayatan terbagi menjadi tiga gang. Dari gang satu sampai gang tiga. Di dalamnya terdapat RW 1, RW 2, RW 4, dan RW 12, dan masuk di Kelurahan Bandungrejosari, Kota Malang. Menurut buku Toponim Kota Malang karya Ismail Lutfi dan kawan-kawan, nama Klayatan atau Kelayatan berasal dari kata dasar ’laya’.
Kata tersebut memiliki banyak arti. ’Laya’ bisa berarti kediaman atau tempat tinggal seseorang. Bisa juga bermakna pemadaman, kematian, atau bencana. Sementara itu, dalam Kamus Jawa Kuno Indonesia yang ditulis Petrus Josephus Zoetmulder bersama Struat Robson, muncul kata ’sulaya’. Dalam Bahasa Jawa baru, ’sulaya’ artinya berkonflik. Dengan banyaknya arti dari kata ’laya’, tentunya arti yang memiliki makna buruk akan dihindari. Seperti halnya ’laya’ yang berarti kematian. Menurut hipotesa Ismail dkk, kemungkinan besar nama Klayatan menggambarkan tempat tinggal atau kediaman yang berbentuk memanjang. Hipotesa tersebut didasarkan pada posisi Klayatan, yang berada di Sungai Sukun. Di sisi lain, arti Klayatan juga dihubungkan dengan cerita rakyat yang beredar.
Yakni mengenai aktivitas orang-orang yang ke Klayatan untuk melayat ke makam legenda Panji Pulangjiwo dan Roro Proboretno. Berdasarkan cerita yang beredar, Panji Pulangjiwo adalah adik Rangga Tohjiwo dari Madura. Panji digambarkan sebagai kesatria muda tampan. Dia juga memiliki kesaktian tak tertandingi. Sayangnya, Panji Pulangjiwo memiliki kelemahan, yakni dibutakan oleh cinta kepada Roro Proboretno. Kelemahan itu membuat dia bisa dikalahkan dalam pertempuran melawan Kesultanan Mataram. Kisah serupa juga disampaikan Ketua RT 07 RW 02 Affandi. Affandi sendiri sudah tinggal di Jalan Klayatan Gang 3 sejak lama.
Sebab, kedua orang tuanya, Sarosa dan Sarosa Wira Kraman sudah mendiami rumah di Jalan Klayatan sejak tahun 1967. Bahkan, buyut Affandi, yakni Mbah Notourip berkontribusi mencetuskan pembangunan Tugu Klayatan pada tahun 1946. Sepengetahuan Affandi, dulu ada pertempuran antara Kerajaan Mataram Kuno dan Kerajaan Kanjuruhan. Karena takut dijebak oleh lawan, orang-orang dari Kerajaan Kanjuruhan berlindung di kali tempur (pertemuan antara Kali Watu dan Kali Sukun). Dari pertempuran itu, pimpinan mereka yang bernama Panji Pulungjiwo dan istrinya, Roro Proboretno, tertangkap pihak Kerajaan Mataram.
Keduanya meninggal di Jalan Panarukan, Desa Panggungrejo, yang sekarang disebut Kepanjen (Kepanjian). ”Nah, orang-orang dulu ingin melayat ke panjian. Hal inilah yang jadi asal-usul nama Klayatan,” tuturnya. Versi yang berbeda dituturkan Rosmanaji, warga yang tinggal di Jalan Klayatan RT 7 RW 2 sejak tahun 1966. Dia menyatakan bila nama Klayatan diambil dari kisah pertempuran antara Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Kediri di tahun 1292. Menurut dia, Klayatan menjadi tempat pertemuan pasukan Kerajaan Singhasari dengan Kerajaan Kediri. Pertempuran itu berlangsung di Kagenengan (Pakisaji).
Meski berlangsung di Kagenengan, beberapa pasukan yang meninggal dunia dimakamkan di Klayatan. Karena itu, muncul istilah nglayat, yang sekarang digunakan menjadi nama kawasan. ”Dulu ada beberapa prasasti atau peninggalan yang menandakan adanya orangorang dari kerajaan kuno. Namun sekarang sudah hilang,” ujar pria yang akrab disapa Naji itu. Selain kerajaan, ada versi lain yang dihubungkan dengan posisi Klayatan, yang berdekatan dengan Kemantren. Asumsi itu dikemukakan Suwardono, pemerhati sejarah Kota Malang.
Dia menjelaskan bila di Malang ada dua nama Klayatan. Yakni Klayatan di Kecamatan Sukun dan di Kecamatan Tajinan. Di Tajinan, Klayatan menjadi nama dusun. Lokasinya ada di Desa Randugading. Jika ditinjau dari arti kata, Klayatan berarti pergi, lari, atau mengunjungi. Namun, Suwardono masih mempertanyakan tempat apa yang menjadi tujuan untuk lari atau melakukan kunjungan. Sementara dalam Bahasa Jawa baru, kata layat lazim digunakan orang untuk aktivitas takziah. ”Tapi, kalau dalam Bahasa Indonesia kata layat merupakan sinonim dari lawad, yang berarti mengunjungi. Jadi, layat tidak harus dikonotasikan pergi mengunjungi tempat orang yang meninggal,” jelasnya. Apabila dihubungkan dengan posisi Klayatan yang berdekatan dengan Kemantren, muncul dugaan bahwa bisa jadi kunjungan yang dilakukan menuju tempat mantri.
Yakni tempat pejabat pengawas pada masa kolonial. Suwardono menduga bahwa karena seringnya mantri melakukan pengawasan atau kunjungan, maka kawasan itu disebut sebagai Klayatan. Ada pula versi yang menyebutkan bahwa Kemantren berasal dari kata mantri. Pada masa kolonial, mantri merupakan pejabat khusus yang memiliki keahlian. Utamanya di bidang pengobatan. Jika dihubungkan, bisa jadi masyarakat yang pergi ke Klayatan dan Kemantren punya tujuan untuk berobat. Dugaan bahwa ada mantri yang ada di kawasan Klayatan-Kemantren diperkuat oleh pernyataan Rosmini. Perempuan kelahiran tahun 1955 yang pernah tinggal di Jalan Klayatan Gang 3 itu menyebut jika dulu ada seorang dokter yang menjadi rujukan bagi warga Desa Bandungrejosari untuk berobat. Dokter tersebut berpraktik di tempat yang kini jadi Jalan Klayatan Gang 3, tepatnya di RW 2. ”Saya tahunya sampai tahun 1974 itu dokternya masih ada.
Terakhir bertemu waktu lomba desa,” ujar Rosmini. Hal yang sama dituturkan oleh Jupri. Meski dia hanya pendatang, dua tahun lalu dia pernah mencari tahu sedikit seputar kawasan Klayatan dan Kemantren. Dari penuturan sesepuh yang pernah ditemuinya, pada masa kolonial pernah ada pageblug cacar. ”Pemerintah pada masa itu mendatangkan mantri untuk mengobati warga yang terpapar penyakit. Kemudian, warga di Balearjosari termasuk dari Klayatan dan Kemantren datang untuk berobat,” kata pria yang merupakan pengawas SD di Kecamatan Lowokwaru tersebut. Sempat Dikenal sebagai Kawasan Produsen Nanas Selain punya hubungan dengan beberapa kerajaan, Klayatan juga sempat dikenal dengan kawasan yang banyak ditumbuhi tanaman nanas.
Salah satunya disebutkan dalam buku Onderzoek Naar De Mindere Welvaart Der Inlandsche Bevolking Op Java En Madoera. Buku terbitan tahun 1907 itu menyatakan bahwa di Desa Klayatan, Kacuk, dan Kemantren dulunya merupakan bagian dari onderdistrict Gadang. Di ketiga desa tersebut dulu banyak tanaman nanas dan salak di pekarangan warga. Salah satunya di tempat yang kini menjadi Masjid Mutoharun di Jalan Klayatan Gang 3 RW 2. Tempat tersebut merupakan perkebunan milik Mbah Notonawawi dan Mbah Tiamah. Keduanya merupakan keluarga dari Rosmini. Perkebunan tersebut diperkirakan sudah ada sejak lama.
Hasil dari perkebunan itu biasanya dijual kepada para bangsawan atau orang-orang kawedanan. Bahkan, nanasnanas yang tumbuh di Klayatan sempat menjadi oleh-oleh khas Malang. Itu tercatat dalam koran Panjebar Semangat yang terbit 2 November 1935. Namun, sejak tahun 1980-an, tanaman nanas sudah mulai berganti dengan permukiman warga. Yang tersisa kini adalah Tugu Klayatan. Tugu tersebut dibangun pada tahun 1946 oleh Mbah Notonawawi dan Mbah Notourip. Pembangunannya terinspirasi tugu di Alun-alun Balai Kota Malang. Tujuannya membangkitkan nasionalisme warga Klayatan sekaligus tempat berkumpul jika ada peringatan, seperti Kemerdekaan RI. (*/by)
SAKSI BISU: Tugu Klayatan dibangun tahun 1946 oleh Mbah Notonawawi dan Mbah Notourip. Tujuannya untuk membangkitkan nasionalisme warga di sana.