27.1 C
Malang
Rabu, November 22, 2023

Jomplangan Identik dengan Kawasan Palang Pintu KA Kota Lama

ZAMAN dulu, penamaan sebuah kawasan kerap berdasar pada sesuatu yang paling menonjol di lokasi tersebut. Tak terkecuali dengan kawasan Jomplangan di dekat Stasiun Kotalama. Hal itu juga diakui Sejarawan Kota Malang Suwardono. Namun dia menegaskan bahwa Jomplangan adalah nama insidental di pertigaan Kotalama. ”Karena ada palang pintu kereta api di dekat Stasiun Kotalama, maka daerah sekitar yang berada di wilayah itu disebut Jomplangan,” ungkapnya. Insidental yang dia maksud hanya bersifat lokal dan tertentu saja. Selain Kotalama, lintasan kereta api di bawah flyover Arjosari juga sempat disebut Jomplangan.

Namun yang menyebut Jomplangan juga hanya orang atau kelompok tertentu. ”Di Malang itu, istilah Jomplangan sebagai penanda kawasan ada dua. Yakni di Polowijen, tepatnya di flyover Arjosari, dan di Ciptomulyo (dekat stasiun Kotalama),” terangnya. Pendapat itu juga disampaikan oleh Andi, ketua RT 01/RW 03 Kelurahan Ciptomulyo. ”Sejak saya lahir memang sudah disebut Jomplangan. Karena di sini ada stopan kereta api,” ungkapnya. Pria yang lahir pada 1975 itu juga menyebutkan, sopir-sopir angkutan zaman dulu, atau sopir yang sekarang sudah tua, lebih mengenal istilah Jomplangan untuk menandai kawasan di sekitar stasiun Kotalama. Menurutnya, lokasi yang dikenal dengan Jomplangan tidak hanya di dekat stasiun Kotalama saja. ”Di Kebalen juga ada Jomplangan, karena ada stopan juga,” ujarnya. Biasanya penyebutan jomplangan akan diikuti dengan nama kampung tersebut. Misalnya, Jomplangan Kotalama, berarti merujuk pada jomplangan di dekat Stasiun Kotalama, Kelurahan Ciptomulyo (Jalan Kolonel Sugiono).

Atau Jomplangan Kebalen, berarti merujuk pada jomplangan yang ada di Pasar Kebalen (Jalan Zaenal Zakse). Namun, jomplangan di Kebalen masih terbilang baru dibangun demi keamanan, sehingga kalah terkenal dengan Jomplangan Kotalama. Sebab, Jomplangan Kotalama sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. ”Mungkin kalau ke Kebalen, biasanya orang tanya Kebalen mana. Dijawabnya, Kebalen pas jomplangan’,” imbuh Andi. Dulu, jomplangan belum memiliki sistem digital seperti sekarang. Rata-rata palang pintu pengaman rel kereta api terbuat dari kayu. Sistemnya juga manual. Kalau ada kereta hendak lewat, petugas langsung mengoperasikan katrol untuk menurunkan palang pintu atau jomplangan tersebut. Andi ingat betul bahwa dulu belum ada sirine. Masih pakai lonceng tabung besar yang suaranya sangat keras. Fungsinya sebagai tanda agar kendaraan yang hendak melewati perlintasan kereta api berhenti sejenak. Seiring berkembangnya zaman, jomplangan sekarang telah menggunakan sistem digital. Tepatnya dimulai sejak ada teknologi sinyal lalu-lintas sekitar tahun 1990-an. ”Jadi, Kampung Jomplangan itu sebenarnya tidak ada.

Baca Juga:  Kronologi Jenazah Covid-19 di Malang Tertukar, Hingga Picu Kerusuhan

Yang ada adalah wilayah di dekat jomplangan. Kebanyakan karena lebih mudah menyebut area lokasinya,” terang Andi. Karena jomplangan sudah menjadi identitas pertigaan Kotalama, maka walaupun jomplangan-nya rusak, orang-orang tetap mengenalnya sebagai Jomplangan. Hal yang sama diungkapkan Wiwik, warga sekitar kawasan Jomplangan Kotalama. Menurutnya, palang pintu kereta api disebut jomplangan karena bisa naik turun dengan cara ditarik menggunakan tali. ”Yang naik turun itu salah satu ujungnya saja. Jadi seperti njomplang,” terang perempuan berusia 66 tahun tersebut. Seingat Wiwik, nama kawasan Jomplangan sudah ada sebelum dia lahir (1956). Namun dia tidak tahu pasti kapan nama jomplangan kali pertama digunakan sebagai penanda wilayah. Apakah sejak dibangun palang pintu lintasan KA, atau bertahun-tahun setelahnya. Hingga kini, tanggal atau tahun pasti pemasangan jomplangan di Kotalama juga masih simpang siur.

Dalam buku Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, Stasiun Spoor Malang Kota Lama (sekarang Stasiun Kotalama) dibangun pada 1879. Namun jalur kereta Malang Kota Lama (sekarang Kotalama)Surabaya dan Malang-Pasuruan telah dibuka pada 1876. Jika benar demikian, sebelum ada Stasiun Spoor Malang Kola Lama, kemungkinan sudah ada stasiun yang lain, termasuk jomplangan di Kotalama. Penuturan berbeda diungkapkan dalam buku Oud Soerabaia karya Von Faber. Stasiun Spoor Malang Kola Lama dibangun berkaitan dengan peresmian jalur kereta api Surabaya-Malang Kola Lama tahun 1878 oleh Gubernur Jenderal SW van Lasberge. Jalur tersebut diresmikan setelah peresmian jalur Surabaya-Pasuruan tahun 1876.

Baca Juga:  Bau Masih Dikeluhkan, PDAM Lakukan Sterilisasi Pipa Saluran Air

Walaupun rel kereta di Surabaya dibangun 16 Mei 1880-an, stasiunnya sudah ada sejak 1878. Sedangkan dalam buku berjudul Peringatan Oenteok Hindia Belanda Ketika Sri Baginda Maharadja Poetri Tjeokoep 25 Tahoen Bertahta Keradjaan 1898-1923, disebutkan bahwa kereta api Surabaya-Malang Kota Lama beroperasi mulai 1887. Sementara itu, jalur Surabaya-Malang Kota Lama baru ada sejak 1884. Sehingga, sebelum 1884, jalur tersebut belum ada. Ada pula versi lain dalam buku Erste Nederlandsche Systematisch Ingerichte Encyclopaedie (ENSI) jilid VII karya Prof Dr Krediet dan Prof Drs S. Klerekoper. Menurutnya, pada 1875 telah diputuskan pemerintah untuk membuat jalur kereta SurabayaPasuruan dan Surabaya-Malang sepanjang 115 kilometer.

Pekerjaan itu dapat selesai pada 1879. Kemudian pada 1893, pemerintah menyusun rencana umum pembuatan jalur kereta api untuk Tanah Jawa agar stabilitas tercapai. Sehingga, pada 1879, jalur Surabaya-Pasuruan dan Surabaya-Malang sudah bisa dimanfaatkan. Jadi, sebelum 1884, jalur tersebut sudah ada. Dari penjabaran-penjabaran tersebut memang belum ditemukan kepastian kapan jalur rel kereta api yang melintasi Stasiun Kotalama dibangun. Hanya bisa diperkirakan kisaran tahunnya, yakni antara 1876 hingga 1884. Yang pasti, jomplangan dibuat setelah rel kereta api mulai beroperasi. (*/fat)

ZAMAN dulu, penamaan sebuah kawasan kerap berdasar pada sesuatu yang paling menonjol di lokasi tersebut. Tak terkecuali dengan kawasan Jomplangan di dekat Stasiun Kotalama. Hal itu juga diakui Sejarawan Kota Malang Suwardono. Namun dia menegaskan bahwa Jomplangan adalah nama insidental di pertigaan Kotalama. ”Karena ada palang pintu kereta api di dekat Stasiun Kotalama, maka daerah sekitar yang berada di wilayah itu disebut Jomplangan,” ungkapnya. Insidental yang dia maksud hanya bersifat lokal dan tertentu saja. Selain Kotalama, lintasan kereta api di bawah flyover Arjosari juga sempat disebut Jomplangan.

Namun yang menyebut Jomplangan juga hanya orang atau kelompok tertentu. ”Di Malang itu, istilah Jomplangan sebagai penanda kawasan ada dua. Yakni di Polowijen, tepatnya di flyover Arjosari, dan di Ciptomulyo (dekat stasiun Kotalama),” terangnya. Pendapat itu juga disampaikan oleh Andi, ketua RT 01/RW 03 Kelurahan Ciptomulyo. ”Sejak saya lahir memang sudah disebut Jomplangan. Karena di sini ada stopan kereta api,” ungkapnya. Pria yang lahir pada 1975 itu juga menyebutkan, sopir-sopir angkutan zaman dulu, atau sopir yang sekarang sudah tua, lebih mengenal istilah Jomplangan untuk menandai kawasan di sekitar stasiun Kotalama. Menurutnya, lokasi yang dikenal dengan Jomplangan tidak hanya di dekat stasiun Kotalama saja. ”Di Kebalen juga ada Jomplangan, karena ada stopan juga,” ujarnya. Biasanya penyebutan jomplangan akan diikuti dengan nama kampung tersebut. Misalnya, Jomplangan Kotalama, berarti merujuk pada jomplangan di dekat Stasiun Kotalama, Kelurahan Ciptomulyo (Jalan Kolonel Sugiono).

Atau Jomplangan Kebalen, berarti merujuk pada jomplangan yang ada di Pasar Kebalen (Jalan Zaenal Zakse). Namun, jomplangan di Kebalen masih terbilang baru dibangun demi keamanan, sehingga kalah terkenal dengan Jomplangan Kotalama. Sebab, Jomplangan Kotalama sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. ”Mungkin kalau ke Kebalen, biasanya orang tanya Kebalen mana. Dijawabnya, Kebalen pas jomplangan’,” imbuh Andi. Dulu, jomplangan belum memiliki sistem digital seperti sekarang. Rata-rata palang pintu pengaman rel kereta api terbuat dari kayu. Sistemnya juga manual. Kalau ada kereta hendak lewat, petugas langsung mengoperasikan katrol untuk menurunkan palang pintu atau jomplangan tersebut. Andi ingat betul bahwa dulu belum ada sirine. Masih pakai lonceng tabung besar yang suaranya sangat keras. Fungsinya sebagai tanda agar kendaraan yang hendak melewati perlintasan kereta api berhenti sejenak. Seiring berkembangnya zaman, jomplangan sekarang telah menggunakan sistem digital. Tepatnya dimulai sejak ada teknologi sinyal lalu-lintas sekitar tahun 1990-an. ”Jadi, Kampung Jomplangan itu sebenarnya tidak ada.

Baca Juga:  Antrean Vaksinasi di Stadion Gajayana Malang Sempat Picu Kerumunan

Yang ada adalah wilayah di dekat jomplangan. Kebanyakan karena lebih mudah menyebut area lokasinya,” terang Andi. Karena jomplangan sudah menjadi identitas pertigaan Kotalama, maka walaupun jomplangan-nya rusak, orang-orang tetap mengenalnya sebagai Jomplangan. Hal yang sama diungkapkan Wiwik, warga sekitar kawasan Jomplangan Kotalama. Menurutnya, palang pintu kereta api disebut jomplangan karena bisa naik turun dengan cara ditarik menggunakan tali. ”Yang naik turun itu salah satu ujungnya saja. Jadi seperti njomplang,” terang perempuan berusia 66 tahun tersebut. Seingat Wiwik, nama kawasan Jomplangan sudah ada sebelum dia lahir (1956). Namun dia tidak tahu pasti kapan nama jomplangan kali pertama digunakan sebagai penanda wilayah. Apakah sejak dibangun palang pintu lintasan KA, atau bertahun-tahun setelahnya. Hingga kini, tanggal atau tahun pasti pemasangan jomplangan di Kotalama juga masih simpang siur.

Dalam buku Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, Stasiun Spoor Malang Kota Lama (sekarang Stasiun Kotalama) dibangun pada 1879. Namun jalur kereta Malang Kota Lama (sekarang Kotalama)Surabaya dan Malang-Pasuruan telah dibuka pada 1876. Jika benar demikian, sebelum ada Stasiun Spoor Malang Kola Lama, kemungkinan sudah ada stasiun yang lain, termasuk jomplangan di Kotalama. Penuturan berbeda diungkapkan dalam buku Oud Soerabaia karya Von Faber. Stasiun Spoor Malang Kola Lama dibangun berkaitan dengan peresmian jalur kereta api Surabaya-Malang Kola Lama tahun 1878 oleh Gubernur Jenderal SW van Lasberge. Jalur tersebut diresmikan setelah peresmian jalur Surabaya-Pasuruan tahun 1876.

Baca Juga:  Bau Masih Dikeluhkan, PDAM Lakukan Sterilisasi Pipa Saluran Air

Walaupun rel kereta di Surabaya dibangun 16 Mei 1880-an, stasiunnya sudah ada sejak 1878. Sedangkan dalam buku berjudul Peringatan Oenteok Hindia Belanda Ketika Sri Baginda Maharadja Poetri Tjeokoep 25 Tahoen Bertahta Keradjaan 1898-1923, disebutkan bahwa kereta api Surabaya-Malang Kota Lama beroperasi mulai 1887. Sementara itu, jalur Surabaya-Malang Kota Lama baru ada sejak 1884. Sehingga, sebelum 1884, jalur tersebut belum ada. Ada pula versi lain dalam buku Erste Nederlandsche Systematisch Ingerichte Encyclopaedie (ENSI) jilid VII karya Prof Dr Krediet dan Prof Drs S. Klerekoper. Menurutnya, pada 1875 telah diputuskan pemerintah untuk membuat jalur kereta SurabayaPasuruan dan Surabaya-Malang sepanjang 115 kilometer.

Pekerjaan itu dapat selesai pada 1879. Kemudian pada 1893, pemerintah menyusun rencana umum pembuatan jalur kereta api untuk Tanah Jawa agar stabilitas tercapai. Sehingga, pada 1879, jalur Surabaya-Pasuruan dan Surabaya-Malang sudah bisa dimanfaatkan. Jadi, sebelum 1884, jalur tersebut sudah ada. Dari penjabaran-penjabaran tersebut memang belum ditemukan kepastian kapan jalur rel kereta api yang melintasi Stasiun Kotalama dibangun. Hanya bisa diperkirakan kisaran tahunnya, yakni antara 1876 hingga 1884. Yang pasti, jomplangan dibuat setelah rel kereta api mulai beroperasi. (*/fat)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/