22.7 C
Malang
Selasa, November 14, 2023

Saksi Hidup Ungkap Ketegangan Palagan Mendalan

KEJADIAN Palagan Mendalan membekas di pikiran para saksi hidup yang saat ini jumlahnya hanya segelintir. Suparman, warga Dusun Gobet, Desa Pondok Agung, Kasembon salah satunya. Pria yang kini berusia 80 tahun itu mengaku masih ingat kejadian mencekam tersebut.

Waktu itu, dia masih berusia 8 tahun. Ayahnya, Supri Mawatri adalah pekerja di PLTA Mendalan. Menurut dia, pasukan Belanda memulai rencana penguasaan PLTA Mendalan sejak 19 Desember 1948. Dipimpin oleh Kapten Van De Pries, mereka membawa pasukan berkekuatan satu kompi yang kurang lebih berjumlah 70 anggota.

Supri Matrawi, anak Ngalimun, relawan pejuang. Rubianto / Radar Malang)

Terdiri dari Divisi A Brigade 10 beranggotakan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Lager), Pasukan wajib militer dan beberapa Laskar Pribumi bentukan Belanda. Saat itu mereka berangkat dari Batu menuju Kasembon melalui jalur Pujon. Mereka menghindari pertempuran di titik titik yang telah dijaga oleh para pejuang. Pasukan Belanda kebanyakan hanya melewati hutan dan sungai.

Lettu Sumadi dari Kompi Macan Putih Batalyon Merak Putih di Kasembon telah merencanakan strategi guna menyambut kedatangan Belanda. Ia menempatkan beberapa pasukan di bukit-bukit Dusun Gobet sebagai upaya penyergapan pasukan lawan yang akan melewati saluran air.

Selain itu masyarakat sekitar yang dipimpin Kepala Desa Pondok Agung, Sandiman Wongsoastro ikut membantu pejuang dengan pengadaan kebutuhan logistik. Penduduk Dusun Bayem, Bocok dan Kasiman membuat dapur umum dadakan yang dengan suka rela mengirimkan makanan dan minuman ke pejuang. Sandiman juga mengungsikan masyarakat menuju Ngantang.

Suparman, 80, saksi mata Palagan Mendalan. Rubianto / Radar Malang)

”Saya bersama bapak saya yang juga aparat desa mengawal warga untuk mengungsi ke Ngantang. Yang tinggal di sini cuma para pemuda yang ikut berjuang,” ucap Suparman ditemui di rumahnya.

Baca Juga:  Pemkot Batu Seriusi Pengembangan Wisata Brakseng

Dari yang diketahui Suparman, saat terjadi baku tembak, pasukan Belanda menghindar dari serangan pejuang dengan cara masuk ke terowongan air ataupun menceburkan diri ke waduk. Dia juga masih ingat tiba-tiba ada 3 pesawat tempur Belanda jenis Mustang yang menembaki para pejuang dan menjatuhkan granat.

”Saat itu terjadi banjir darah. Yang berhasil selamat nyaris tidak ada setengah kompi,” ucap pria kelahiran 17 Februari 1940 tersebut.

Pengungsian masyarakat juga dilakukan ketika akan ada peledakan bom di PLTA Mendalan. Selain hindari jadi korban ledakan, juga antisipasi saat Belanda marah. ”Dan benar saja, usai bom menghancurkan PLTA, tentara Belanda menyiksa sebagian pribumi,” kenang Suparman.

Beberapa korban yang gugur akibat pergolakan itu adalah Letda Sudiarto, Wadiman Wongsoastro, Serma Akoeb, Sugeng, Letda Mustajab dan Peltu Saroetomo. Mereka disiksa dengan cara disetrum dan ditusuk bayonet oleh anggota KNIL, warga pribumi antek Belanda.
Para prajurit Belanda tetap bertahan di sekitaran PLTA selama kurang lebih 3 bulan. Pertempuran-pertempuran kecil juga tetap dilakukan dengan sisa pejuang yang ada. Pada akhirnya, gencatan senjata dilaksanakan oleh pihak Belanda. Kemenangan tersebut membuat para pejuang Indonesia bersuka ria dan menancapkan bendera Indonesia di PLTA Mendalan. Sang Saka Merah Putih berkibar dengan sangat indah menemani keberhasilan para pejuang mempertahankan aset terbesar Jawa Timur kala itu.

Baca Juga:  Masih Banyak Yang Abai Masker

Warga sipil lain yang ikut berjuang kala itu adalah Ngalimun, pekerja PLTA Mendalan. Dia dengan berani membantu Kompi Macan Putih Batalyon Merak Tentara Kemanan Rakyat (TKR).

Supri Matrawi, anak pertama dari Ngalimun menceritakan kisah heroik almarhum ayahnya tersebut kepada Jawa Pos Radar Malang. Dia mengisahkan ayahnya menjadi relawan mata-mata untuk Kompi Macan Putih jika ada pasukan KNIL datang. ”Bapak saya pernah membantu pasukan Macan Putih masuk ke kawasan PLTA untuk melakukan pengeboman,” ujar Supri.

Dia melanjutkan, Ngalimun membantu beberapa pasukan Macan Putih dengan menyamar sebagai pegawai PLTA. Dengan pakaian non militer, pasukan Macan Putih dibantu oleh Ngalimun untuk mempersiapkan pengeboman. Diakui Supri, Ngalimun sempat bertemu dengan Lettu Soemadi selaku pemimpin pasukan Macan Putih untuk menyiasati pergerakan Belanda sebelum masuk ke PLTA.

Tepat pada 21 Desember 1948, waktu peledakan tiba, pergerakan tentara Belanda yang terlihat Ngalimun segera dilaporkan ke salah satu pasukan Macan Putih. ”Beliau lari dari pos jaganya dan melaporkan ke salah satu pasukan untuk segera dilakukan peledakan,” katanya.

Duaaarrrr!!!! Begitulah kerasnya ledakan bom yang mengakibatkan bangunan PLTA hancur. Efek ledakan yang keras itu mengakibatkan pasukan Belanda yang sedang menyusuri sungai terpaksa mundur. Pasukan KNIL terpaksa mencari tempat persembunyian karena pasukan Macan Putih sudah mengetahui pergerakan mereka. ”Saya juga ingat bapak saya cerita pipa PLTA yang besar tersebut ditutup dan menjadi area gerilya pasukan Macan Putih,” tandas Supri.

Pewarta: Aditya Novrian

KEJADIAN Palagan Mendalan membekas di pikiran para saksi hidup yang saat ini jumlahnya hanya segelintir. Suparman, warga Dusun Gobet, Desa Pondok Agung, Kasembon salah satunya. Pria yang kini berusia 80 tahun itu mengaku masih ingat kejadian mencekam tersebut.

Waktu itu, dia masih berusia 8 tahun. Ayahnya, Supri Mawatri adalah pekerja di PLTA Mendalan. Menurut dia, pasukan Belanda memulai rencana penguasaan PLTA Mendalan sejak 19 Desember 1948. Dipimpin oleh Kapten Van De Pries, mereka membawa pasukan berkekuatan satu kompi yang kurang lebih berjumlah 70 anggota.

Supri Matrawi, anak Ngalimun, relawan pejuang. Rubianto / Radar Malang)

Terdiri dari Divisi A Brigade 10 beranggotakan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Lager), Pasukan wajib militer dan beberapa Laskar Pribumi bentukan Belanda. Saat itu mereka berangkat dari Batu menuju Kasembon melalui jalur Pujon. Mereka menghindari pertempuran di titik titik yang telah dijaga oleh para pejuang. Pasukan Belanda kebanyakan hanya melewati hutan dan sungai.

Lettu Sumadi dari Kompi Macan Putih Batalyon Merak Putih di Kasembon telah merencanakan strategi guna menyambut kedatangan Belanda. Ia menempatkan beberapa pasukan di bukit-bukit Dusun Gobet sebagai upaya penyergapan pasukan lawan yang akan melewati saluran air.

Selain itu masyarakat sekitar yang dipimpin Kepala Desa Pondok Agung, Sandiman Wongsoastro ikut membantu pejuang dengan pengadaan kebutuhan logistik. Penduduk Dusun Bayem, Bocok dan Kasiman membuat dapur umum dadakan yang dengan suka rela mengirimkan makanan dan minuman ke pejuang. Sandiman juga mengungsikan masyarakat menuju Ngantang.

Suparman, 80, saksi mata Palagan Mendalan. Rubianto / Radar Malang)

”Saya bersama bapak saya yang juga aparat desa mengawal warga untuk mengungsi ke Ngantang. Yang tinggal di sini cuma para pemuda yang ikut berjuang,” ucap Suparman ditemui di rumahnya.

Baca Juga:  Fenomena Bunga Elite Era Pandemi, Selembar Daun Dihargai Rp 50 Juta

Dari yang diketahui Suparman, saat terjadi baku tembak, pasukan Belanda menghindar dari serangan pejuang dengan cara masuk ke terowongan air ataupun menceburkan diri ke waduk. Dia juga masih ingat tiba-tiba ada 3 pesawat tempur Belanda jenis Mustang yang menembaki para pejuang dan menjatuhkan granat.

”Saat itu terjadi banjir darah. Yang berhasil selamat nyaris tidak ada setengah kompi,” ucap pria kelahiran 17 Februari 1940 tersebut.

Pengungsian masyarakat juga dilakukan ketika akan ada peledakan bom di PLTA Mendalan. Selain hindari jadi korban ledakan, juga antisipasi saat Belanda marah. ”Dan benar saja, usai bom menghancurkan PLTA, tentara Belanda menyiksa sebagian pribumi,” kenang Suparman.

Beberapa korban yang gugur akibat pergolakan itu adalah Letda Sudiarto, Wadiman Wongsoastro, Serma Akoeb, Sugeng, Letda Mustajab dan Peltu Saroetomo. Mereka disiksa dengan cara disetrum dan ditusuk bayonet oleh anggota KNIL, warga pribumi antek Belanda.
Para prajurit Belanda tetap bertahan di sekitaran PLTA selama kurang lebih 3 bulan. Pertempuran-pertempuran kecil juga tetap dilakukan dengan sisa pejuang yang ada. Pada akhirnya, gencatan senjata dilaksanakan oleh pihak Belanda. Kemenangan tersebut membuat para pejuang Indonesia bersuka ria dan menancapkan bendera Indonesia di PLTA Mendalan. Sang Saka Merah Putih berkibar dengan sangat indah menemani keberhasilan para pejuang mempertahankan aset terbesar Jawa Timur kala itu.

Baca Juga:  254 Pelaku UMKM Terima BLT BBM

Warga sipil lain yang ikut berjuang kala itu adalah Ngalimun, pekerja PLTA Mendalan. Dia dengan berani membantu Kompi Macan Putih Batalyon Merak Tentara Kemanan Rakyat (TKR).

Supri Matrawi, anak pertama dari Ngalimun menceritakan kisah heroik almarhum ayahnya tersebut kepada Jawa Pos Radar Malang. Dia mengisahkan ayahnya menjadi relawan mata-mata untuk Kompi Macan Putih jika ada pasukan KNIL datang. ”Bapak saya pernah membantu pasukan Macan Putih masuk ke kawasan PLTA untuk melakukan pengeboman,” ujar Supri.

Dia melanjutkan, Ngalimun membantu beberapa pasukan Macan Putih dengan menyamar sebagai pegawai PLTA. Dengan pakaian non militer, pasukan Macan Putih dibantu oleh Ngalimun untuk mempersiapkan pengeboman. Diakui Supri, Ngalimun sempat bertemu dengan Lettu Soemadi selaku pemimpin pasukan Macan Putih untuk menyiasati pergerakan Belanda sebelum masuk ke PLTA.

Tepat pada 21 Desember 1948, waktu peledakan tiba, pergerakan tentara Belanda yang terlihat Ngalimun segera dilaporkan ke salah satu pasukan Macan Putih. ”Beliau lari dari pos jaganya dan melaporkan ke salah satu pasukan untuk segera dilakukan peledakan,” katanya.

Duaaarrrr!!!! Begitulah kerasnya ledakan bom yang mengakibatkan bangunan PLTA hancur. Efek ledakan yang keras itu mengakibatkan pasukan Belanda yang sedang menyusuri sungai terpaksa mundur. Pasukan KNIL terpaksa mencari tempat persembunyian karena pasukan Macan Putih sudah mengetahui pergerakan mereka. ”Saya juga ingat bapak saya cerita pipa PLTA yang besar tersebut ditutup dan menjadi area gerilya pasukan Macan Putih,” tandas Supri.

Pewarta: Aditya Novrian

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/