20.8 C
Malang
Sabtu, November 18, 2023

Belum Terima Bantuan, Nur Berobat Mandiri

JANJI untuk menanggung biaya pengobatan plus dana bantuan bagi korban tragedi Kanjuruhan sudah diucapkan banyak pihak. Namun realisasinya tidak secepat yang terucap. Masih ada korban yang harus membayar biaya perawatan sendiri akibat luka yang diderita.

Contohnya yang dialami Nursaguanto, warga Desa Tegalsari, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Pemuda 19 tahun itu belum pernah didata sebagai korban, apalagi menerima bantuan biaya untuk pengobatan. “Saya berobat mandiri. Belum ada yang mendata dan membantu. Saat ini sudah menghabiskan uang Rp 790.000,” ujarnya kepada wartawan kemarin.

Janji untuk memberikan bantuan bagi korban tragedi Kanjuruhan memang pernah diungkapkan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada 2 Oktober 2022 lalu. Pihaknya mengatakan akan memberikan bantuan sebesar Rp 5 juta bagi korban yang masih di rawat. Bupati Malang M. Sanusi juga menyebutkan nominal yang sama bagi yang terkena musibah.

Saat Jawa Pos Radar Malang mendatangi kediaman Nursaguanto kemarin, pihak keluarga mengaku belum menyentuh uang sepeser pun. Padahal Nur mengalami luka yang tidak sedikit, terutama di bagian wajah. Di antaranya, lebam di bagian kedua mata, luka lecet di bagian pipi, serta beberapa luka di dagu. Hingga kemarin, matanya juga masih tampak merah.

Baca Juga:  Keluarga Belum Bisa Melihat Hasil Otopsi
RAWAT DI RUMAH: Dua mata Nursaguanto tampak memerah hingga kemarin (6/10). Dia masih merasakan sakit jika melihat cahaya matahari yang terang. (DARMONO/RADAR MALANG)

“Kalau melihat cahaya matahari yang terang masih silau. Sakit banget,” katanya. Tak hanya di bagian wajah, Nur juga mengalami luka di bagian pergelangan kaki sebelah kiri. Akibatnya, kalau berjalan harus di bantu dengan tongkat walker.

Nur mengisahkan, pada 1 Oktober malam dia menonton pertandingan Arema FC melawan Persebaya dari tribun 11. Begitu pertandingan selesai dan terjadi chaos, dia langsung berusaha keluar dari tribun. “Tiba-tiba ada gas air mata dari atas. Seketika itu dada saya sesak dan mata saya perih hingga tak sadarkan diri,” kata dia.

Nur baru sadar keesokan harinya, sekitar pukul 05.00. Saat itu dia dalam kondisi terbaring di RSUD Kanjuruhan. Nur pun langsung menelepon ibunya dan minta dijemput.

Dewi Fitriah 38, ibu kandung Nursaguanto, mengatakan sangat bingung saat anak pertamanya itu hilang tanpa kabar. Semua keluarga sudah berkeliling ke rumah sakit di kabupaten Malang, namun tidak ketemu. “Setelah mendapat telepon, saya langsung ke RSUD Kanjuruhan dan melihat wajah anak sudah bengkak. Matanya tidak bisa dibuka karena memar dan bengkak itu,” ucap dia.

Baca Juga:  Targetkan 50 Persen, Belanja Pemkab Malang Baru Dapat 30 Persen

Pagi itu, lanjutnya, Nur hanya bisa menangis, meringis kesakitan dan meminta pulang supaya dirawat di rumah saja. Menurut Fitriah, Nur masih trauma pada pengalaman kakak sepupunya yang meninggal di rumah sakit.

Karena masih merasakan sakit di wajah dan kaki, pada 5 Oktober lalu Dewi membawa Nursaguanto ke RS Hasta Husada. Tujuannya untuk mendapat perawatan meski harus dengan biaya sendiri. “Sama dokter di suruh rawat inap. Tapi anaknya tidak mau. Akhirnya dibawa pulang sekitar pukul 21.00 malam dan dirawat sendiri sampai saat ini,” kata dia.

Fitriah berharap dalam waktu dekat anaknya bisa pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa. “Walaupun tidak mendapat bantuan tidak apa-apa. Yang penting anak saya selamat dan kejadian tragis ini cukup satu kali saja. Jangan ada lagi,” tutup dia. (nif/fat)

JANJI untuk menanggung biaya pengobatan plus dana bantuan bagi korban tragedi Kanjuruhan sudah diucapkan banyak pihak. Namun realisasinya tidak secepat yang terucap. Masih ada korban yang harus membayar biaya perawatan sendiri akibat luka yang diderita.

Contohnya yang dialami Nursaguanto, warga Desa Tegalsari, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Pemuda 19 tahun itu belum pernah didata sebagai korban, apalagi menerima bantuan biaya untuk pengobatan. “Saya berobat mandiri. Belum ada yang mendata dan membantu. Saat ini sudah menghabiskan uang Rp 790.000,” ujarnya kepada wartawan kemarin.

Janji untuk memberikan bantuan bagi korban tragedi Kanjuruhan memang pernah diungkapkan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada 2 Oktober 2022 lalu. Pihaknya mengatakan akan memberikan bantuan sebesar Rp 5 juta bagi korban yang masih di rawat. Bupati Malang M. Sanusi juga menyebutkan nominal yang sama bagi yang terkena musibah.

Saat Jawa Pos Radar Malang mendatangi kediaman Nursaguanto kemarin, pihak keluarga mengaku belum menyentuh uang sepeser pun. Padahal Nur mengalami luka yang tidak sedikit, terutama di bagian wajah. Di antaranya, lebam di bagian kedua mata, luka lecet di bagian pipi, serta beberapa luka di dagu. Hingga kemarin, matanya juga masih tampak merah.

Baca Juga:  Aisya Najwa Aswinanti, Aremanita Korban Kanjuruhan Akan Tetap Nonton Arema FC
RAWAT DI RUMAH: Dua mata Nursaguanto tampak memerah hingga kemarin (6/10). Dia masih merasakan sakit jika melihat cahaya matahari yang terang. (DARMONO/RADAR MALANG)

“Kalau melihat cahaya matahari yang terang masih silau. Sakit banget,” katanya. Tak hanya di bagian wajah, Nur juga mengalami luka di bagian pergelangan kaki sebelah kiri. Akibatnya, kalau berjalan harus di bantu dengan tongkat walker.

Nur mengisahkan, pada 1 Oktober malam dia menonton pertandingan Arema FC melawan Persebaya dari tribun 11. Begitu pertandingan selesai dan terjadi chaos, dia langsung berusaha keluar dari tribun. “Tiba-tiba ada gas air mata dari atas. Seketika itu dada saya sesak dan mata saya perih hingga tak sadarkan diri,” kata dia.

Nur baru sadar keesokan harinya, sekitar pukul 05.00. Saat itu dia dalam kondisi terbaring di RSUD Kanjuruhan. Nur pun langsung menelepon ibunya dan minta dijemput.

Dewi Fitriah 38, ibu kandung Nursaguanto, mengatakan sangat bingung saat anak pertamanya itu hilang tanpa kabar. Semua keluarga sudah berkeliling ke rumah sakit di kabupaten Malang, namun tidak ketemu. “Setelah mendapat telepon, saya langsung ke RSUD Kanjuruhan dan melihat wajah anak sudah bengkak. Matanya tidak bisa dibuka karena memar dan bengkak itu,” ucap dia.

Baca Juga:  Dominasi Penyebab Kebakaran di Kabupaten Malang, Korsleting Jadi Biang Kerok

Pagi itu, lanjutnya, Nur hanya bisa menangis, meringis kesakitan dan meminta pulang supaya dirawat di rumah saja. Menurut Fitriah, Nur masih trauma pada pengalaman kakak sepupunya yang meninggal di rumah sakit.

Karena masih merasakan sakit di wajah dan kaki, pada 5 Oktober lalu Dewi membawa Nursaguanto ke RS Hasta Husada. Tujuannya untuk mendapat perawatan meski harus dengan biaya sendiri. “Sama dokter di suruh rawat inap. Tapi anaknya tidak mau. Akhirnya dibawa pulang sekitar pukul 21.00 malam dan dirawat sendiri sampai saat ini,” kata dia.

Fitriah berharap dalam waktu dekat anaknya bisa pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa. “Walaupun tidak mendapat bantuan tidak apa-apa. Yang penting anak saya selamat dan kejadian tragis ini cukup satu kali saja. Jangan ada lagi,” tutup dia. (nif/fat)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/