23.6 C
Malang
Jumat, Desember 8, 2023

3 Tahun, 112 Orang Terjangkit Kusta

MALANG RAYA – Jumlah penderita penyakit kusta atau lepra di Bumi Arema bertambah. Dalam kurun tiga tahun terakhir, yakni tahun 2020- 2022, terungkap 112 penderita baru. Rinciannya, pada 2022 teridentifikasi 38 kasus, tahun 2021 terungkap 40 kasus, sedang 2022 ada 34 kasus (selengkapnya baca grafis).

Grafis Angka Penyakit Kusta di Malang Raya – Radar Malang

Mayoritas penderita adalah warga Kabupaten Malang, yakni 74 orang. Sisanya sebanyak 31 penderita baru dari Kota Malang, dan 7 penderita lainnya dari Kota Batu. Jumlah penderita penyakit kulit itu masih bisa bertambah.

Sebab tidak semua penderita berani melapor ke puskesmas di masing-masing desa atau kelurahan. Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Syaiful Anwar (RSSA) misalnya, jumlah kunjungan pasien penyakit kusta mencapai ratusan. Sepanjang 2020 saja terdapat 73 kunjungan. Kemudian tahun 2021 ada 86 kunjungan, dan 2022 tercatat 98 kunjungan.

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Malang drg Wiyanto Wijoyo mengatakan, jumlah penderita penyakit kusta di Bumi Kanjuruhan menurun dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2020 terdapat 27 penderita baru, kemudian 2021 ada 26 penderita, dan 2022 terungkap ada 21 penderita baru.

Untuk prevalensi kasus kusta di akhir tahun adalah 0,16 dibanding 10 ribu penduduk. Dengan kata lain, hanya ada 1 penderita di antara 60 ribu penduduk. ”Tahun 2022 lalu, penderita kusta baru ada 21 orang. Namun jika diakumulasi dari sebelumnya, penderita kusta yang dalam perawatan ada 41 orang,” ujar drg Wiyanto Wijoyo, kemarin.

Dari 21 penderita baru tersebut, lanjut Wiyanto, dua di antaranya mengalami kecacatan. Dia mengklasifikasi dua jenis kecacatan. Yakni cacat tingkat nol dan tingkat dua. Tingkat dua adalah cacat yang sulit dikembalikan alias permanen. Angka kecacatan permanen tersebut diupayakan selalu di bawah 5 persen. Ini protokol yang diikuti para tenaga kesehatan se-Indonesia.

Kemudian, kasus kusta pada anak usia 14 tahun ke bawah ditemukan sebanyak 5 persen. Tahun ini masih ada satu anak yang mengidap penyakit kusta. Namun kecacatan bisa dicegah jika laporan kepada petugas kesehatan cepat dilakukan. Besar kemungkinan kecacatan yang terjadi pada dua penderita karena terlambat melapor.

Pada peringatan Hari Kusta Sedunia atau World Leprosy Day ini, Wiyanto berharap seluruh nakes siaga. Kerja sama dengan unit kesehatan sekolah sangat penting untuk mencegah keterlambatan diagnosa.

Di sisi lain, Wiyanto menyadari banyak stigma dan prasangka yang keliru soal penderita kusta. Sehingga deteksi dan penanganannya acap kali terhambat. Menurut dia, penyakit kusta bisa disembuhkan asal tidak terlambat mendapat penanganan. “Kami minta masyarakat tidak diskriminasi. Sebaliknya, begitu mendapati ada temuan, segera laporkan ke faskes terdekat. Ketika cepat ditangani, kecacatan bisa dihindari,” tuturnya.

Harus Rutin Minum Obat Selama 12-18 Bulan

Lantas bagaimana dengan kondisi di Kota Malang? Mengacu data dinkes, jumlah penderita baru dalam tiga tahun terakhir mengalami naik turun. Pada 2020 terdapat 9 penderita baru, kemudian meningkat menjadi 12 penderita baru pada 2021, dan turun menjadi 10 penderita pada 2022.

Sub Koordinator Sub-Substansi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Kota Malang dr Bayu Tjahjawibawa mengatakan, pihaknya bisa mendeteksi jumlah kasus setelah mendapat laporan dari RSSA Malang. Sebab, saat merasakan gejala, katanya, kebanyakan penderita akan melakukan pemeriksaan terlebih dulu di rumah sakit.

Baca Juga:  Pengawasan Ciki Ngebul Diserahkan ke Sekolah

“Di rumah sakit, mereka diperiksa pada bagian cuping telinga. Setelah ketahuan, penderita dikembalikan ke wilayah kerja puskesmas masing-masing,” terang Bayu.

Karena tergolong sebagai penyakit menular, kata Bayu, nantinya puskesmas akan melakukan tracing (melacak). Minimal terhadap 20 orang yang tinggal di sekitar lingkungan rumah penderita. “Dari penularan, kusta menular melalui droplet,” imbuh pejabat eselon IV A Pemkot Malang itu.

Meski demikian, katanya, kusta bisa disembuhkan dengan obat kombinasi MDT. Yakni pengobatan dengan lebih dari satu macam obat yang sudah direkomendasikan. Agar bisa sembuh, penderita yang sudah terkonfirmasi positif kusta harus mengonsumsi obat secara rutin. Pengobatan berlangsung selama 12 sampai 18 bulan dan tidak boleh terputus. Obat tersebut bisa diperoleh gratis di dinkes.

Sudah Sembuh, Ada Potensi Kambuh

Namun pengobatan harus dilakukan dengan cepat. Jika terlambat, bisa berpotensi cacat. Hanya saja, kasus kusta hingga ke tahap cacat di Kota Malang tidak terlalu banyak. “Kasus murni di Kota Malang juga jarang. Biasanya impor dari daerah endemi kusta. Jadi mereka tertular saat bekerja di daerah-daerah tersebut,” sebutnya.

Meski sudah menjalani pengobatan sesuai yang ditentukan dokter, Bayu mengatakan, tetap ada potensi untuk kambuh. Hal tersebut disebabkan oleh faktor pendukung. Seperti kondisi lingkungan dan lain sebagainya.

Terpisah, spesialis penyakit kulit dan kelamin RSSA dr Dhelya Widasmara SpKK menjelaskan, selama pandemi Covid-19, masyarakat takut untuk berobat ke rumah sakit. Demikian juga dengan pasien kusta.

Karena itulah, lanjutnya, angka kunjungan pasien saat itu tak terlalu tinggi. Terkait dengan adanya penambahan kasus kusta di Malang Raya, Dhelya berpendapat bahwa tak semata karena pola hidup masyarakat. Melainkan juga dilatarbelakangi peningkatan ilmu kesehatan yang dimiliki tenaga kesehatan mengenai tanda dan gejala. Baik pada puskesmas maupun klinik.

Selain itu, kewaspadaan masyarakat sudah lebih baik. “Di samping itu, juga program screening pada kontak erat pasien kusta yang dijalankan puskesmas. Sehingga mampu mengidentifikasi kasus baru,” tuturnya.

Dhelya melanjutkan, kusta tidak memiliki fase pada perjalanan penyakitnya. Tapi pasien-pasien yang datang ke RSSA biasanya karena efek samping dari pengobatan kusta. Ada pula pasien yang dirujuk untuk menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan slit skin smear yang belum tersedia di beberapa layanan dasar primer. Slit skin smear merupakan pemeriksaan yang diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit seperti di cuping telinga.

Agar penyakit kusta bisa segera ditangani, dia mengatakan, penderita harus mewaspadai beberapa gejala. Salah satunya mati rasa pada kulit. Termasuk kehilangan kemampuan merasakan suhu, sentuhan, tekanan, atau rasa sakit.

“Selain itu muncul lesi pucat, kulit tidak berkeringat, luka yang tak terasa sakit, pembesaran saraf, kehilangan alis dan bulu mata, mata kering, hidung tersumbat, hingga kehilangan tulang hidung,” sebutnya.

Untuk penanganan kusta selain MDT, Dhelya menyebut, Departemen/SMF Dermatologi dan Venereologi Universitas Brawijaya (UB) sudah membuat inovasi. Namanya Rawat Mandiri Kusta (Ramata) kit. Ini merupakan alat perawatan luka mandiri bagi penderita kusta.

Baca Juga:  2 Tahun, 102 Kasus Kriminal di Malang Jerat Anak di Bawah Umur

“Ini merupakan solusi bebas kecacatan. Untuk penggunaannya, pasien akan diarahkan oleh petugas kesehatan dan selanjutnya bisa melakukan perawatan mandiri di rumah,” jelasnya.

Inovasi itu diyakini membantu pasien untuk mencapai hasil terapi dan perawatan maksimal tanpa harus mengantre di rumah sakit. Perlengkapan yang ada dalam Ramata kit terdiri atas penggosok kaki, pelembab, obat antibiotik oles, cairan antiseptic, kasa steril, dan kasa gulung. “Kami juga mengembangkan kuesioner untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kusta serta bekerja sama dengan psikolog terkait,” imbuhnya.

Yang tak kalah penting, lanjutnya, masyarakat perlu memberikan dukungan kepada pasien maupun penyintas kusta. Sebab, belum seluruhnya mau terbuka karena masih adanya stigma.

7 Warga Kota Batu Terjangkit Lepra

Sementara di Kota Batu, selama 2020 hingga 2022 tercatat 7 penderita baru. Dari rekap tersebut, mayoritas penderita adalah warga Kelurahan Sisir. Kemudian pada 2020 tercatat sebanyak 2 penderita baru. Dan tahun 2021 jumlahnya 2 orang. Lalu pada 2022 lalu ada 3 orang.

”Kelurahan Sisir itu pusat Kota Batu yang areanya cukup padat. Maka, tak heran jika penyakit kusta ini bisa menyebar karena droplet (kuman),” terang Kabid Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Penanganan Bencana Dinkes Kota Batu dr Susan Indahwati.

Susan mengatakan, ketika satu pasien kusta satu kali bertemu keluarganya atau lingkup sekitarnya, maka masih terbilang aman. Tapi jika pasien ini sampai tinggal bersama, risiko menularkan penyakit lebih tinggi. “Dari masa penularan hingga timbul gejala itu bisa 20 tahunan,” katanya.

Untuk itu, ketika ada seseorang terdeteksi kusta, yang ditelusuri (tracking) adalah 15 orang yang kontak dengan si pasien. Namun pihak medis tetap mengedepankan privasi.

Sebagai informasi, penyakit kusta tergolong Neglected Tropical Disease (NTD). Artinya, penyakit tropis yang terabaikan. Sering kali masyarakat menganggap baikbaik saja ketika ada bercak kemerahan lalu menebal hingga kulitnya bersisik. Susan menambahkan, kusta sering dinilai sebagai penyakit kutukan oleh masyarakat. Selain itu, kusta juga dianggap sebagai penyakit yang menyeramkan. Sebab, kusta dapat tumbuh di area kulit, termasuk bagian wajah.

Sehingga ketika ada orang yang menderita kusta di wajah, kerap kali mendapat diskriminasi tinggi. “Efek diskriminasi, pasien kusta seperti terjangkit penyakit HIV/Aids dan tuberkulosis. Kalau ada yang tahu bisa tak ada pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya,” terangnya.

Sementara terkait pengobatan, Kepala Dinkes Kota Batu drg Kartika Trisulandari menyampaikan, pengobatan pasien kusta dengan obat MDT (berupa kapsul yang lebih dari satu antibiotik). “Jadi, pasien harus minum obat ini rutin selama setiap hari selama dua tahun. Alasannya, kuman dinyatakan regresi ketika sudah mencapai waktu tertentu,” bebernya.

Kartika menjelaskan, jika dalam waktu minum obat rutin 2 tahun, kemudian kuman dinyatakan negatif atau meninggalkan kecacatan, maka pasien harus menjalani operasi rekonstruksi. Hal ini bertujuan agar saraf-saraf kembali normal. (ifa/mel/fin/dan)

MALANG RAYA – Jumlah penderita penyakit kusta atau lepra di Bumi Arema bertambah. Dalam kurun tiga tahun terakhir, yakni tahun 2020- 2022, terungkap 112 penderita baru. Rinciannya, pada 2022 teridentifikasi 38 kasus, tahun 2021 terungkap 40 kasus, sedang 2022 ada 34 kasus (selengkapnya baca grafis).

Grafis Angka Penyakit Kusta di Malang Raya – Radar Malang

Mayoritas penderita adalah warga Kabupaten Malang, yakni 74 orang. Sisanya sebanyak 31 penderita baru dari Kota Malang, dan 7 penderita lainnya dari Kota Batu. Jumlah penderita penyakit kulit itu masih bisa bertambah.

Sebab tidak semua penderita berani melapor ke puskesmas di masing-masing desa atau kelurahan. Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Syaiful Anwar (RSSA) misalnya, jumlah kunjungan pasien penyakit kusta mencapai ratusan. Sepanjang 2020 saja terdapat 73 kunjungan. Kemudian tahun 2021 ada 86 kunjungan, dan 2022 tercatat 98 kunjungan.

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Malang drg Wiyanto Wijoyo mengatakan, jumlah penderita penyakit kusta di Bumi Kanjuruhan menurun dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2020 terdapat 27 penderita baru, kemudian 2021 ada 26 penderita, dan 2022 terungkap ada 21 penderita baru.

Untuk prevalensi kasus kusta di akhir tahun adalah 0,16 dibanding 10 ribu penduduk. Dengan kata lain, hanya ada 1 penderita di antara 60 ribu penduduk. ”Tahun 2022 lalu, penderita kusta baru ada 21 orang. Namun jika diakumulasi dari sebelumnya, penderita kusta yang dalam perawatan ada 41 orang,” ujar drg Wiyanto Wijoyo, kemarin.

Dari 21 penderita baru tersebut, lanjut Wiyanto, dua di antaranya mengalami kecacatan. Dia mengklasifikasi dua jenis kecacatan. Yakni cacat tingkat nol dan tingkat dua. Tingkat dua adalah cacat yang sulit dikembalikan alias permanen. Angka kecacatan permanen tersebut diupayakan selalu di bawah 5 persen. Ini protokol yang diikuti para tenaga kesehatan se-Indonesia.

Kemudian, kasus kusta pada anak usia 14 tahun ke bawah ditemukan sebanyak 5 persen. Tahun ini masih ada satu anak yang mengidap penyakit kusta. Namun kecacatan bisa dicegah jika laporan kepada petugas kesehatan cepat dilakukan. Besar kemungkinan kecacatan yang terjadi pada dua penderita karena terlambat melapor.

Pada peringatan Hari Kusta Sedunia atau World Leprosy Day ini, Wiyanto berharap seluruh nakes siaga. Kerja sama dengan unit kesehatan sekolah sangat penting untuk mencegah keterlambatan diagnosa.

Di sisi lain, Wiyanto menyadari banyak stigma dan prasangka yang keliru soal penderita kusta. Sehingga deteksi dan penanganannya acap kali terhambat. Menurut dia, penyakit kusta bisa disembuhkan asal tidak terlambat mendapat penanganan. “Kami minta masyarakat tidak diskriminasi. Sebaliknya, begitu mendapati ada temuan, segera laporkan ke faskes terdekat. Ketika cepat ditangani, kecacatan bisa dihindari,” tuturnya.

Harus Rutin Minum Obat Selama 12-18 Bulan

Lantas bagaimana dengan kondisi di Kota Malang? Mengacu data dinkes, jumlah penderita baru dalam tiga tahun terakhir mengalami naik turun. Pada 2020 terdapat 9 penderita baru, kemudian meningkat menjadi 12 penderita baru pada 2021, dan turun menjadi 10 penderita pada 2022.

Sub Koordinator Sub-Substansi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Kota Malang dr Bayu Tjahjawibawa mengatakan, pihaknya bisa mendeteksi jumlah kasus setelah mendapat laporan dari RSSA Malang. Sebab, saat merasakan gejala, katanya, kebanyakan penderita akan melakukan pemeriksaan terlebih dulu di rumah sakit.

Baca Juga:  Cerita dr Nanditya Ika Faramita di Balik Produksi Film Last Message

“Di rumah sakit, mereka diperiksa pada bagian cuping telinga. Setelah ketahuan, penderita dikembalikan ke wilayah kerja puskesmas masing-masing,” terang Bayu.

Karena tergolong sebagai penyakit menular, kata Bayu, nantinya puskesmas akan melakukan tracing (melacak). Minimal terhadap 20 orang yang tinggal di sekitar lingkungan rumah penderita. “Dari penularan, kusta menular melalui droplet,” imbuh pejabat eselon IV A Pemkot Malang itu.

Meski demikian, katanya, kusta bisa disembuhkan dengan obat kombinasi MDT. Yakni pengobatan dengan lebih dari satu macam obat yang sudah direkomendasikan. Agar bisa sembuh, penderita yang sudah terkonfirmasi positif kusta harus mengonsumsi obat secara rutin. Pengobatan berlangsung selama 12 sampai 18 bulan dan tidak boleh terputus. Obat tersebut bisa diperoleh gratis di dinkes.

Sudah Sembuh, Ada Potensi Kambuh

Namun pengobatan harus dilakukan dengan cepat. Jika terlambat, bisa berpotensi cacat. Hanya saja, kasus kusta hingga ke tahap cacat di Kota Malang tidak terlalu banyak. “Kasus murni di Kota Malang juga jarang. Biasanya impor dari daerah endemi kusta. Jadi mereka tertular saat bekerja di daerah-daerah tersebut,” sebutnya.

Meski sudah menjalani pengobatan sesuai yang ditentukan dokter, Bayu mengatakan, tetap ada potensi untuk kambuh. Hal tersebut disebabkan oleh faktor pendukung. Seperti kondisi lingkungan dan lain sebagainya.

Terpisah, spesialis penyakit kulit dan kelamin RSSA dr Dhelya Widasmara SpKK menjelaskan, selama pandemi Covid-19, masyarakat takut untuk berobat ke rumah sakit. Demikian juga dengan pasien kusta.

Karena itulah, lanjutnya, angka kunjungan pasien saat itu tak terlalu tinggi. Terkait dengan adanya penambahan kasus kusta di Malang Raya, Dhelya berpendapat bahwa tak semata karena pola hidup masyarakat. Melainkan juga dilatarbelakangi peningkatan ilmu kesehatan yang dimiliki tenaga kesehatan mengenai tanda dan gejala. Baik pada puskesmas maupun klinik.

Selain itu, kewaspadaan masyarakat sudah lebih baik. “Di samping itu, juga program screening pada kontak erat pasien kusta yang dijalankan puskesmas. Sehingga mampu mengidentifikasi kasus baru,” tuturnya.

Dhelya melanjutkan, kusta tidak memiliki fase pada perjalanan penyakitnya. Tapi pasien-pasien yang datang ke RSSA biasanya karena efek samping dari pengobatan kusta. Ada pula pasien yang dirujuk untuk menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan slit skin smear yang belum tersedia di beberapa layanan dasar primer. Slit skin smear merupakan pemeriksaan yang diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit seperti di cuping telinga.

Agar penyakit kusta bisa segera ditangani, dia mengatakan, penderita harus mewaspadai beberapa gejala. Salah satunya mati rasa pada kulit. Termasuk kehilangan kemampuan merasakan suhu, sentuhan, tekanan, atau rasa sakit.

“Selain itu muncul lesi pucat, kulit tidak berkeringat, luka yang tak terasa sakit, pembesaran saraf, kehilangan alis dan bulu mata, mata kering, hidung tersumbat, hingga kehilangan tulang hidung,” sebutnya.

Untuk penanganan kusta selain MDT, Dhelya menyebut, Departemen/SMF Dermatologi dan Venereologi Universitas Brawijaya (UB) sudah membuat inovasi. Namanya Rawat Mandiri Kusta (Ramata) kit. Ini merupakan alat perawatan luka mandiri bagi penderita kusta.

Baca Juga:  RS Lavalette Punya Tiga Layanan Center of Excellent (CoE)

“Ini merupakan solusi bebas kecacatan. Untuk penggunaannya, pasien akan diarahkan oleh petugas kesehatan dan selanjutnya bisa melakukan perawatan mandiri di rumah,” jelasnya.

Inovasi itu diyakini membantu pasien untuk mencapai hasil terapi dan perawatan maksimal tanpa harus mengantre di rumah sakit. Perlengkapan yang ada dalam Ramata kit terdiri atas penggosok kaki, pelembab, obat antibiotik oles, cairan antiseptic, kasa steril, dan kasa gulung. “Kami juga mengembangkan kuesioner untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kusta serta bekerja sama dengan psikolog terkait,” imbuhnya.

Yang tak kalah penting, lanjutnya, masyarakat perlu memberikan dukungan kepada pasien maupun penyintas kusta. Sebab, belum seluruhnya mau terbuka karena masih adanya stigma.

7 Warga Kota Batu Terjangkit Lepra

Sementara di Kota Batu, selama 2020 hingga 2022 tercatat 7 penderita baru. Dari rekap tersebut, mayoritas penderita adalah warga Kelurahan Sisir. Kemudian pada 2020 tercatat sebanyak 2 penderita baru. Dan tahun 2021 jumlahnya 2 orang. Lalu pada 2022 lalu ada 3 orang.

”Kelurahan Sisir itu pusat Kota Batu yang areanya cukup padat. Maka, tak heran jika penyakit kusta ini bisa menyebar karena droplet (kuman),” terang Kabid Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Penanganan Bencana Dinkes Kota Batu dr Susan Indahwati.

Susan mengatakan, ketika satu pasien kusta satu kali bertemu keluarganya atau lingkup sekitarnya, maka masih terbilang aman. Tapi jika pasien ini sampai tinggal bersama, risiko menularkan penyakit lebih tinggi. “Dari masa penularan hingga timbul gejala itu bisa 20 tahunan,” katanya.

Untuk itu, ketika ada seseorang terdeteksi kusta, yang ditelusuri (tracking) adalah 15 orang yang kontak dengan si pasien. Namun pihak medis tetap mengedepankan privasi.

Sebagai informasi, penyakit kusta tergolong Neglected Tropical Disease (NTD). Artinya, penyakit tropis yang terabaikan. Sering kali masyarakat menganggap baikbaik saja ketika ada bercak kemerahan lalu menebal hingga kulitnya bersisik. Susan menambahkan, kusta sering dinilai sebagai penyakit kutukan oleh masyarakat. Selain itu, kusta juga dianggap sebagai penyakit yang menyeramkan. Sebab, kusta dapat tumbuh di area kulit, termasuk bagian wajah.

Sehingga ketika ada orang yang menderita kusta di wajah, kerap kali mendapat diskriminasi tinggi. “Efek diskriminasi, pasien kusta seperti terjangkit penyakit HIV/Aids dan tuberkulosis. Kalau ada yang tahu bisa tak ada pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya,” terangnya.

Sementara terkait pengobatan, Kepala Dinkes Kota Batu drg Kartika Trisulandari menyampaikan, pengobatan pasien kusta dengan obat MDT (berupa kapsul yang lebih dari satu antibiotik). “Jadi, pasien harus minum obat ini rutin selama setiap hari selama dua tahun. Alasannya, kuman dinyatakan regresi ketika sudah mencapai waktu tertentu,” bebernya.

Kartika menjelaskan, jika dalam waktu minum obat rutin 2 tahun, kemudian kuman dinyatakan negatif atau meninggalkan kecacatan, maka pasien harus menjalani operasi rekonstruksi. Hal ini bertujuan agar saraf-saraf kembali normal. (ifa/mel/fin/dan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/